Monday, September 28, 2015

OGEK DAN UNING DUTA WISATA DAN BUDAYA SIBOLGA TAHUN 2015


Pada tanggal 26 September 2015 telah dilaksanakan Grand Final Pemilihan Ogek dan Uning Duta Wisata dan Budaya Kota Sibolga Tahun 2015. Acara final yang berlangsung mulai pukul 10 pagi itu dipimpin oleh Juri Bpk. Edi Saputra dari Dewan Kesenian Sibolga, Bpk. Herry Yon Marbun dari KNPI Kota Sibolga, Ny. Haslan Effendi mewakili PKK Kota Sibolga, Ilfaini pohan, S.Ip dari Dinas Budparpora Kota Sibolga dan Andika dari Andika Production, sebuah rumah bakat yang sudah tidak asing lagi di Kota Medan.

Grand final dimulai dengan sesi catwalk dan perkenalan masing masing peserta. Uniknya kali ini peserta tidak hanya menunjukkan kemampuan catwalk yang sudah mumpuni, namun kemampuan mereka memperkenalkan diri dalam bahasa asing juga menarik perhatian tersendiri bagi para juri. Misalnya peserta NPP 06 memperkenalkan diri dengan bahasa Jepang, ditambah peserta dengan NPP 18 dengan bahasa Perancisnya, dan peserta lainnya dengan bahasa Inggris.

Sesi berikutnya dilanjutkan dengan Sesi Interview dan tanya jawab. Masing masing peserta yang sebelumnya telah diberikan pembekalan oleh masing-masing juri selama tiga hari sebelum grand final,  diuji dengan pertanyaan yang sebelumnya mereka ambil secara acak. lagi-lagi peserta menunjukkan kemampuan dengan menjawab pertanyaan dalam berbagai bahasa. 
Terakhir acara ditutup dengan catwalk dan parade seluruh peserta.

Pada malam harinya, dilaksanakanlah malam penganugerahan pemenang yang dibuka secara resmi oleh Bapak Plh. Walikota Sibolga, Drs. Mochamad Sugeng. Dalam sambutannya, Bapak Plh. Walikota berharap agar kiranya para pemenang dapat menjalankan tugasnya dengan baik karena mereka ini adalah para pemuda refleksi pemuda di Kota Sibolga. 

Akhirnya setelah melewati prosesi acara yang panjang, mulai dari parade seluruh peserta dimulai dari lantai 2 Gedung Nasional Kota Sibolga, Hiburan Tari2an dari Sanggar Putri Runduk binaan Dinas Budparpora Kota Sibolga dan acara lainnya, sampailah kepada acara yang dinantikan, yaitu pengumuman pemenang. Dari hasil penilaian siang tadi diperolehlah pemenang sebagai berikut: 

Juara I Uning
Juara II Uning
Juara III Uning
Juara Harapan I Uning
Juara Harapan II Uning
Juara Harapan III Uning


Juara I Ogek
Juara II Ogek
Juara III Ogek
Juara Harapan I Ogek



Juara Harapan II Ogek
Juara Harapan III Ogek

Ogek dan Uning Terpilih 2015

Friday, September 11, 2015

TAHAPAN PEMILIHAN OGEK DAN UNING DUTA WISATA SIBOLGA TAHUN 2015



1.      SELEKSI TAHAP I (MENJARING PESERTA 15 ORG PUTRA DAN 15 ORG PUTRI);
DALAM MASA SELEKSI INI PESERTA DIWAJIBKAN MEMAKAI PAKAIN CASUAL  YAITU PUTRA MEMAKAI CELANA JEANS HITAM, KAOS PUTIH TANPA KERAH, SEPATU PANTOFEL; PUTRI MEMAKAI CELANA JEANS HITAM, KAOS PUTIH TANPA KERAH, SEPATU HIGH HEELS MIN. 10 CM, BAGI YANG BERAMBUT PANJANG DIIKAT SATU. SELEKSI TAHAP I DIBAGI MENJADI BEBERAPA TAHAPAN LAGI YAITU:
-          SELEKSI KEMAMPUAN AKADEMIS YANG MERUPAKAN UJIAN TERTULIS DENGAN MENJAWAB PERTANYAAN YANG TELAH DISEDIAKAN OLEH PANITIA. SOAL BOLEH BERUPA PILIHAN BERGANDA MAUPUN ESSAY.
-          SELEKSI FOTOGENIK: MERUPAKAN SELEKSI PEMOTRETAN DENGAN TUJUAN MELIHAT PENAMPILAN PESERTA DALAM FOTOGRAFI.
-          SELEKSI CATWALK DASAR: MERUPAKAN SELEKSI KEMAMPUAN BERJALAN DI CATWALK DAN MENILAI SEJAUH MANA KEPERCAYAAN DIRI PESERTA DALAM MENGHADAPI FORUM.
-          TES FISIK: MERUPAKAN TES PENGUKURAN TINGGI DAN BERAT BADAN.
2.      SELEKSI TAHAP II (MENJARING PESERTA 10 ORANG PUTRA DAN 10 ORG PUTRI)
DALAM MASA SELEKSI INI PESERTA DIBEBASKAN MEMAKAI PAKAIAN SESUAI DENGAN KARAKTER DALAM MENJALANI TAHAPAN SELEKSI. SELEKSI TAHAP II DIBAGI MENJADI BEBERAPA TAHAPAN LAGI YAITU:
-          SELEKSI KEMAMPUAN BAKAT: MERUPAKAN SELEKSI UNTUK MENGETAHUI BAKAT APA YANG DIMILIKI OLEH PESERTA.
-          SELEKSI  MAKALAH: MERUPAKAN SELEKSI KEMAMPUAN INTELEGENSIA PESERTA DALAM MENERANGKAN TENTANG PARIWISATA, SENI DAN BUDAYA KOTA SIBOLGA DALAM TULISAN MINIMAL 2 HALAMAN UK. A4.
-          SELEKSI PRESENTASI/ PUBLIK SPEAKING/ INTERVIEW: MERUPAKAN TAHAPAN LANJUTAN DARI TAHAPAN SEBELUMNYA DIMANA PARA PESERTA DIWAJIBKAN MENERANGKAN TENTANG PENGETAHUANNYA SEPUTAR WISATA DAN BUDAYA DI KOTA SIBOLGA SESUAI DENGAN MAKALAH YANG TELAH DIBUAT DALAM 2-3 MENIT, DIUTAMAKAN DALAM BAHASA ASING.
3.      FINAL (MENJARING 6 ORANG PUTRA DAN 6 ORANG PUTRI)
DALAM MASA SELEKSI INI, PESERTA AKAN MEMAKAI PAKAIAN PENARI PESISIR. BABAK FINAL JUGA AKAN DIBAGI MENJADI BEBERAPA TAHAPAN, ANTARA LAIN:
-          SELEKSI CATWALK LANJUTAN: MERUPAKAN CATWALK LANJUTAN DARI SELEKSI AWAL. PESERTA AKAN DILATIH SEPENUHNYA DALAM TES INI UNTUK BERJALAN DI ATAS PANGGUNG OLEH PANITIA. YANG DINILAI ADALAH KEMAMPUANNYA MENYERAP APA YANG TELAH DIAJARKAN OLEH PANITIA.
-          SELEKSI PUBLIK SPEAKING LANJUTAN: MERUPAKAN SELEKSI YANG MENILAI SEJAUH MANA KEMAMPUAN PESERTA DALAM MEMPROMOSIKAN SALAH SATU DESTINASI WISATA, SENI MAUPUN BUDAYA YANG ADA DI KOTA SIBOLGA DALAM 2-3 MENIT, DIUTAMAKAN YANG BERBAHASA ASING.
-          SELEKSI TANYA JAWAB: MERUPAKAN SELEKSI DIMANA PESERTA MENJAWAB PERTANYAAN DARI DEWAN JURI.
4.      MALAM GRAND FINAL
PESERTA YANG TELAH MENGIKUTI BABAK FINAL AKAN DIAMBIL 6 PASANG UNTUK MALAM GRAND FINAL. DALAM MALAM GRAND FINAL PESERTA AKAN DIBERI PERTANYAAN YANG SAMA OLEH PEMBAWA ACARA DIMANA PESERTA YAGN LAIN AKAN DITUTUP TELINGANYA DENGAN HEADSET DAN MUSIK YANG KERAS SEHINGGA TIDAK MENDENGAR PERTANYAAN DAN JAWABAN. HASIL DARI PERTANYAAN AKAN MENENTUKAN PERINGKAT DARI PARA PEMENANG. SELANJUTNYA AKAN DILAKUKAN CATWALK DAN DILANJUTKAN DENGAN PENGUMUMAN PEMENANG.

Thursday, September 10, 2015

TRADISI YANG MASIH DAN HARUS TERJAGA DI PESISIR SIBOLGA (part II)

Tradisi  Mandi Balimou pada Etnis Pesisir Kota Sibolga Menjelang dan Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan


    Tradisi adalah perilaku yang terdapat dalam suatu etnis tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat yang terjadi turun temurun, sehingga menjadi sebuah adat istiadat yang tidak tertulis, apa lagi pelaksanaannya menyangkut norma-norma kehidupan masyarakat itu sendiri.















    Walupun sebuah tradisi yang tidak tertulis, tradisi adalah sebuah ikatan bagi masyarakat yang sifatnya mengikat, sehingga akan mendapat sanksi apa bila ada anggota masyarakat yang melanggarnya. Hal tersebut yang biasa dikenal dengan hukum adat yang tata cara pengukuhannya melalui musyawarah dalam lembaga adat.
    Akan tetapi apabila jenis kegiatannya hanya merupakan kebiasaan yang tidak mengikat dapat disebut tradisi, lengkapnya tradisi dapat diartikan sebuah peraturan kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat secara sadar dan berulang-ulang, sepanjang tidak ada hukum tertentu yang dapat melarang dan membatalkan hukum tersebut. Lain halnya dengan yang dinamakan hukum adat.
    `Hukum adat menurut Prof. DR. Supomo, SH hukum yang tidak tertulis di dalam peratuaran-peratuaran legislatif (unstatutory low) yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang wajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat
    Lain halnya menurut Ter Har seorang bapak hukum adat memberikan batasan sebagai berikut ”Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan. Jadi hukum adat adalah satu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata”.
    Bertitik tolak dari dua serjana ahli hukum adat itu, maka penulis memiliki tolak ukur tersendiri untuk berfikir menulis sisi adat atau kebiasan yang terdapat pada lingkungan masyarakat Pesisir yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah Sibolga yang mempunyai kebiasan dalam menyongsong bulan suci Ramadhan dengan istilah ”Mamogang dan mandi Balimou”. Apakah kebiasan ini timbul dari dasar hukum adat istiadat atau hanya sebuah seremony tradisional ?.
    Kalau ditinjau pada sejarah masuknya agama Islam pertama ke Nusantara, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat yang pernah mencapai puncaknya pada pase kejayaannya di Barus sebagai bandar tertua di belahan dunia. Sedangkan tahap pase kedua sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, seperti yang terdapat dalam disertasi seorang serjana University Monalisa Australia yang bernama Miss Jean Dekard yang menyebutkan di Barus dikenal ada dua kerajaan yaitu kerajaan Barus Hulu dan kerajan Barus Hilir. Kerajaan Barus hulu bertempat di desa Kampung Mudik, sedangkan kerajaan Barus Hilir bertempat di Sigambo-gambo.
    Yang menjadi pemikiran kita, bisakah kedua kerajaan tersebut hidup berdampingan kalau tidak ada sesuatu hal yang dapat mengikat kedua masyarakat yang memiliki etnis yang sama ?. Kita harus mengakui betapa berakarnya adat dan budaya Pesisir dalam hati masyarakat di dua kerajaan tersebut sehingga dapat terhindar dari perpecahan yang bermuara pada timbulnya rasa dendam yang tidak berkesudahan. Hal ini adalah sebuah kenyataan yang dapat kita saksikan sampai sekarang.  
    Kegiatan mandi balimou-limou sebagai sebuah tradisi menjadi sebuah momen yang dijadikan para kaula muda untuk bisa langsung bersua pasangannya. Lebih dari sebuah perjumpaan, kegiatan yang telah berlaku berabad-abad silam menjadi sebuah kesempatan pula untuk menyampaikan isi hati setiap insan muda kepada kekasihnya.
    Di Sibolga misalnya, sehari sebelum masuknya bulan suci ramadhan, ribuan masyarakat tua dan muda pergi ketempat dimana ada sungai yang mengalir yang bisa dijadikan untuk sebuah kegiatan mandi-mandi dengan membawa bekal seperti nasi dan lauk pauknya disertai juga oleh air Limau (Jeruk wangi) yang telah dicampur dengan tumbukan daun pandan wangi (Musang) serai Betawi dan daun-daun lainnya.
    Biasanya masyarakat di Sibolga selalu memilih tempat yang biasanya dijadikan untuk tempat momen ini seperti Sungai Sarudik dan tempat pemandian lainnya yang terdapat di daerah Tapanuli Tengah. Sejak pagi pukul 9.00 sebagian masyarakat sudah mulai berangsur berjalan menuju tempat tersebut.
    Pada saat menjelang mandi, air limou yang dibawa sudah dibagikan kepada pasangannya masing-masing, karena tempat untuk laki-laki harus terpisah dari tempat mandi perempuan, dan diharuskan memakai kain basahan mandi. Setelah selesai mandi, barulah diadakan makan bersama dengan duduk lesehan diatas tikar yang dibawa dari rumah. Biasanya tepat jam 3 sore, semuanya telah selesai rombongan bersiap-siap untuk kembali ke rumah.
    Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Sibolga, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat di banyak daerah Pesisir seperti Barus, Sorkam dan daerah lainnya. Dalam pelaksanan tradisi ini, sepertinya berlaku sebuah kebebasan dalam arti masih dalam koridor hukum, seperti orang tua seakan tidak dibenarkan melarang, apa bila melihat anak gadisnya berjalan dengan pasangannya. Orang tua hanya bisa mengawasinya dari kejauhan.
    Walaupun demikian, bukan menandakan kebebasan itu tidak ada batasnya, seperti apabila sudah menjelang sore, pasangan itu harus segera kembali dan mengantarkan pasangan wanitanya ke rumah orang tuanya. Inilah sekelumit tentang tradisi mandi balimou-limou di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.

ACARA TURUN BATU (BATU NISAN)
Budaya tradisi di Daerah Pesisir Tapanuli Te­ngah dan Sibolga, tidak saja mencakup hal – hal yang bersifat keduniaan. Tetapi juga menyangkut bagi orang yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Bila ada seseorang yang meninggal dunia, biasanya dilakukan fardu qifayah seperti layaknya dilakukan kepada seseorang yang telah meninggal dunia di di daerah lain. 
Yang membuat berbeda hanyalah setelah memasuki hari ke empat puluh setelah orang tersebut meninggal, ada sebuah tradisi yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Misalnya, seseorang yang meninggal dunia biasanya pihak keluarga yang ditinggal membuat satu acara yang bernama ’ Acara Turun Batu.
Adapun tata cara melaksanakan acara ini, beberapa hari setelah meninggal, pihak keluarga yang ditinggal menempahkan sepasang batu nisan kepada orang yang ahli dalam membuat batu nisan. Pada waktu menempah, pihak keluarga biasanya meminta agar nama, tanggal tahun kelahiran bahkan tanggal  dan tahun meninggal diukirkan di batu nisan tersebut.
Setelah selesai, batu nisan yang ditempah di bawa kerumah ahlil bait, dan di letakkan di atas tempat tidur dalam kamar lalu di selimuti dengan kain berwarna. Menjelang hari ke empat puluh malamnya, batu nisan tersebut dimandikan dengan air jeruk purut dan yang dicampur dengan berbagai bunga.
Setelah selesai, batu nisan tersebut kembali di letakkan di atas tempat tidur lalu di selimuti kembali. Setelah selesai, para undangan yang terdiri dari anggota pengajian atau perwiritan membacakan do’a do’a kepada arwah orang yang baru meninggal tersebut. Setelah selesai, para undangan pulang ke rumahnya masing – masing.
Ke esokan harinya, disaat mata hari mulai terbit, para undangan kembali datang ke rumah ahlil bait. Biasanya ahlil bait memberi makan para undangan dengan makanan tradisi seperti Nasi Tuei. Setelah selesai acara jamuan makan, kembali di bacakan do’a do’a seperti semula.
Setelah selesai, barulah batu nisan tadi di keluarkan dari dalam kamar lalu di pikul dengan tetap dalam balutan selimutnya dan dibawa ke makam dimana orang tersebut di kubur, dengan iringan dupa dengan bara api yang dinyalakan. Setelah sampai di kuburan dupa tersebut ditaburi dengan bijan sebangsa biji-bijian.  
Setelah asap mengepul, barulan batu nisan dipacakak sesuai dengan tempatnya. Bagi nisan yang ujungnya menyerupai bulatan, berarti nisan itu di pacakkan di arah kepala. Bila nisan itu yang ujungnya meruncing, berarti nisan itu di pacakan arah kaki.
Setelah batu selesai di pacakkan, para undangan kembali membaca do’a do’a ke pada arwah orang yang meninggal tersebut, Setelah selesai para undangan kembali pulang kerumahnya masing masing.
Demikianlah sekelumit tentang acara turun batu bagi Etnis Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang sampai saat ini masih selalu dilakukan di beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah dan Sibolga.

Tradisi Sunat Rasul Dalam Adat Sumando yang telah terlupakan di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga

Agama Islam adalah salah satu agama resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesaia, dan agama yang dipercaya dan dinyakini oleh masyarakat Pesisir, yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Maka sudah bisa dipastikan bahwa, masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga memeluk agama Islam, dimanapun etni ini berada. Seperti diketuhui bahwa, dalam tuntunan agama Islam, diwajipkan melakukan khitan (sunat rasul) bagi seluruh penganudnya. Karena ada sebuah ancaman dosa besar, bila mana seseorang pemeluk agama Islam bila tidak melakukan syariat ini (khitan atau sunat rasul).
Seperti kita ketahui, dalam melaksanakan khitanan ini, ada beberapa ragam dan cara tradisi adat budaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah di Sumatera Utara dan daerah lainnya di negara kesatuan Republik Indonesia ini, baik pada zaman dahulu dan zaman sekarang ini.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga juga memiliki sebuah tradisi adat budaya, dalam melakukan perhelatan khitanan atau sunat rasul oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Namun oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tradisi yang dahulu selalu dilakukan oleh masyarakat Pesisir, sudah tidak dilakukan lagi.
Pada hal, bila di runut hikmah yang terdapat pada tradisi tersebut, sangat menentukan watak dari anak yang disunat tersebut. Lebih dari sekedar penentuan watak, tradisi itu sangat mengesankan bagi si anak yang di khitan.
Dalam pelaksanaan khitan (Sunat Rasul) terdapat beberapa tatacara atau tahapan yang harus dilakukan sejak dari awal pelaksanaan sampai selesainya acara. Dalam tahapan yang sebenarnya, hampir tidak ada perbedaannya dengan acara sunatan yang diadakan oleh kebanyakan etnis lainnya. Namun dalam pelaksanaan acara sunatan yang melakukan cara-cara terdahulu, belakangan ini sudah tidak dilakukan lagi. 

Menjelang pesta sunatan dilaksanakan

Seminggu sebelum acara sunatan dilaksanakan, kedua orang tua si anak harus mengunjungi para kerabat, tetangga dan handai tolan satu persatu untuk mengundang. Dengan membawa Kampi Sirih (Sumpit kecil yang terbuat dari ayaman pandan berisi daun Sirih selengkapnya.
Setelah masuk kedalam rumah orang yang mau di undang, kedua orang tua si anak memberikan Kampi Sirih kepada tuan rumah. Kemudian sesaat si tuan rumah memakan sirih yang di suguhkan, salah seorang dari orang tua si anak mengulurkan tangan sebagai isarat untuk bersalaman.
Dalam aksi bersalaman itu, barulah orang tua si anak menyampaikan kata-kata mengundang kepada tuan rumah yang di kunjungi: ”Saruponyokko anyo da, kadatangan kami karumah Ogek, uningko mambari tau bahaso hari Rabuko datang la munak karumah kami, karano anak kami nan banamo si anu tu nandak kami sunatkan, jadi samo-samo kito liekla anak kami nanandak kami sunatkan tu”.
Kira-kira inilah kata-kata yang selalu di ucapkan setiap datang kerumah orang yang akan di undang yang artinya : Beginilah, kedatangan kami ke rumah ini untuk memberitahukan abang dan kakak bahwa, hari Rabu ini agar datang ke ruma kami, karena kami akan menyunatkan anak kami yang bernama si Anu, jadi sama-sama kita saksikanlah anak kami yang akan kami sunatkan itu.

Mejelang pelaksanaan pesta


Disini kami jelaskan bahwa, tiga hari sebelum pelaksanaan acara pesta sunatan, kerabat terdekat sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang bertugas mengganti tiang peyangga rumah yang telah lapuk dan atap rumah yang bocor, ada yang sibuk mengerjakan pondok tempat memasak di belakang rumah, ada yang sibuk mengupas kelapa, ada yang sibuk mengumpulkan kayu bakar dan bermacam-macam keperluan lainnya.
Induk Inang (Bidan Pengantin) sibuk dengan memasang perangkat pelaminan. Semakin dekat hari pelaksanaan pesta, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan. Bahkan kedua orang tua si anak yang akan disunat harus memporsir tenaga untuk memikirkan jangan ada sesuatu hal yang kurang dalam pelaksanaan pesta tersebut.
 
Tata Cara Pelaksanaannya

    Seperti biasa sejak pagi para pekerja baik perempuan juga laki-laki, sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang sibuk memasak, ada yang sibuk dengan mempersiapkan makanan dan minuman.
    Tepat jam sembilan pagi, anak yang akan disunat didudukan di atas kasu basuji yang biasa disebut dalam bahasa Pesisir, sebuah tilam yang telah dihiasi dengan sulaman benang emas sebagai hiasan tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.
Dengan berpakaian seperti pakaian pengantin pria dalam pakaian adat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, anak yang mau di sunat duduk persis membelakangan pelaminan. Setelah sianak duduk, para kerabat si anak secara bergantian memberikan upa-upa dengan menyuapkan nasi putih seraya mencium kening si anak lalu berucap ”Sehat-sehat awak da, panjang umu murah razaki awak, kok ala gadang awak bantu umak samo ayah da” lalu memberikan uang alakadarnya.
Adapun maksud kata nasehat tadi adalah ”Sehat sehatlah kau nak, panjang umur dan murah rezekimu, kalau sudah dewasa bantu ibu dan ayahmu”. Setelah para kerabat selesai mengupa-upa, barula para undangan menyusul menyalami si anak seraya memberikan sumbangan uang alakadarnya.
Setelah para undangan bersalaman dengan si anak, kemudian dipersilahkan duduk di atas tikar dengan posisi saling berhadapan, lalu dihidangi dengan makan bersama, sebagai penghormatan kepada para tamu yang telah datang memenhi undangan.
Tepat pada jam sebelas menjelang siang, si anak digiring mandi ke sungai terdekat, lalu si anak disuruh berlama-lama berendam dalam air. Biasanya petugas untuk menyunat si anak disebut Modim datang pada jam 14 siang. Sebelum tukang sunat datang, si anak tidak diperbolehkan keluar dari air. Adapun maksud anak ini harus lama berada di dalam air agar kulit jakar si anak tidak keras saat di potong.
Karena pada zaman dahulu alat pemotong kulit jakar biasanya terbuat dari sembilu (Kulit pelepah rumbia atau kulit bambu), tidak seperti sekarang yang memakai peralatan yang serba canggih. Jadi bila si anak lama berendam dalam air maka kulit jakarnya akan terlihat lembut saat di potong.
Sementara si anak lagi sibuk mandi sambil berendam di sungai, atau ditempat lain yang dapat membantu proses melembutkan kulit jakar, beberapa orang kerabat si anak mempersiapkan Dulang (Talam) yang terbuat dari tembaga yang ditaburi dengan habu bekas pembakaran kayu, setelah itu habu tersebut dilengkapi dengan ujung pucuk daun pisang,
Setelah Modim atau orang yang akan menyunat si anak datang, maka si anak dijemput ke sungai tampat si anak berendam, lalu dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, si anak disuruh makan sirih yang telah disediakan, Setelah itu si anak disuruh membuka seluruh pakaiannya lalu di dudukkan di atas korsi dengan posisi mengangkang, sementara Dulang atau talam terletak di bawah antara selangkangan si anak.
Dengan posisi yang demikian beberapa orang yang berdiri dibelakang korsi si anak memegang kepala si anak agar muka si anak menghadap ke atas, dan beberapa orang lainnya mengelus dada dan tangan si anak. Sesaat si anak menghadap ke atas orang yang akan menyunat si anak mulai mengelus elus paha si anak lalu membuka cerita agar si anak dapat terlena mendengar cerita tersebut.
Sambil melanjutkan cerita setelah mengelus paha si anak, si tukang sunat mengoleskan kapur sirih pada kulit ujung jakar si anak sebatas satu senti dari ujung jakar si anak. Adapun maksut di oleskannya kapur tersebut, akan dapat berpungsi agar kulit sedikit terasa kebas (Obat bius).
Setelah situasi mengizinkan terlihat mulut tukang sunat komat kamit membaca mantra sesaat itu pula situkang sunat mencabut sembilu yang terselip di kantong bajunya lalu memotongkan ke ujung jakar si anak sebatas olesan kapur sirih yang telah di oleskan, biasanya dengan sekali potong, kulit ujung jakar akan terputus dari ujung jakar.
Setelah kulit ujung jakar terputus, kulit ujung jakar yang tersisa di lempitkan keluar lalu di ikat kain perban. Setelah selesai jakar di perban, kulit ujung jakar yang terpotong diletakkan di atas ujung pucuk pisang lalu di lilit lalu di tanam ketanah bersama habu yang ada dalam Dulang (Talam)
      Sedangkan si anak dibopong ke tempat tidur yaitu sebuah tilam basuji yang telah di persiapkan yang terletak biasanya di ruangan tamu rumah. Setelah itu, si anak diselimuti dengan posisi selimut yang sebelah tengah diikat ke atas, agar jakar si anak tidak tersintuh saat bergerak oleh selimutnya.
Pada sore harinya, diadakanlah musyawarah keluarga yang mana dalam musyawah tersebut untuk menentukan siapa yang akan menjaga si anak pada malam hari pertama ini. Karena biasanya anak yang baru di sunat harus di jaga, agar tidak merapatkan kedua pahanya pada saat tidur.
Demikianlah seterusnya sampai pada malam ke dua. Setelah hari ke tiga, si anak yang baru di sunat biasanya digiring kembali ke sungai, untuk dapat merendamkan seluruh tubuhnya ke daslam air, agar perban pembalut bekas sayatan pada jakar si anak yang semula mengeras dapat lembut dan akirnya terlepas dari jakar si anak.
Setelah perban pembalut terlepas, si anak dibawa naik kembali kedarat, agar bekas sayatan dikeringkan. Biasanya untuk mengeringkan dan menghilangkan kulit jakar yang meradang dengan menempelkan batu-batu kecil yang panas oleh terpaan sinar matahari, yang banyak terdapat di pinggir sungai.
Setelah kering, bekas sayatan diolesi dengan cairan hitam yang biasa di sebut minyak Bajo. Minyak ini terbuat dari hasil uapan tempurung kelapa yang dibakar, agar bekas sayatan segera sembuh. Demikianlah seterusnya dilakukan oleh si anak, sampai luka bekas sayatan dapat menyatu kembali.
Perlu kami jelaskan bahwa, tatacara khitanan seperti yang kami jelaskan di atas adalah tatacara khitanan yang dilakukan dahulu oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Cara khitanan ini sungguh sangat tradisional.
Tidak mengherankan bila si anak yang di khitan biasanya sampai satu bulan baru bisa sembuh. Tidak seperti sekarang cara khitanan didukung dengan peralatan yang serba canggih. Adapun orang-orang yang merasakan tatacara khitanan ini, masih dapat kita jumpai diantaranya seperti Bapak Prof. Dr. Azhar Tanjung, ketua HIMSIMAS, yang dahulu tinggal di Pasa Balakkang Kota Sibolga, Bapak Mas'ut si Mamora di Barus, Bapak Ibrahim Pohan yang tinggal disekitar Jalan Aso-aso Sambas Kota Sibolga.

Adat yang diadatkan
MANGALUA (Kawin Lari)

     
Mangalua adalah asal kata ”Mangapo Kalua” maksudnya mengapa keluar, berarti sebelumnya dilarang keluar. Ada paktor yang menunjukkan arti dari kalimat 'mengapa keluar' yang berarti sebelumnya ada didalam tetapi karena sesuatu hal yang memakksa harus keluar.
Dalam arti yang lebih luas, dapat kita pahami bahwa sesuatu yang ada di dalam sedang menghadapi suatu masalah, yang mungkin tidak mendapatkan solusi, sehingga sesuatu itu harus keluar, walau dengan cara bagaimanapun.
Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian gadis-gadis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada tahun 60han sampai  akhir 80han, sehingga memilih jalan kalua atau mangalua untuk melangsungkan pernikahan dengan pria idaman hatinya.

Masalah-masalah yang membuat seorang Gadis harus mangalua untuk melangsungkan pernikahan
Dalam kehidupan keseharian, masyarakat selalu dibayangi oleh beberapa hal seperti uang, kedudukan, status dan asal keturunan, sehingga setiap orang selalu berusaha untuk meraihnya walau dengan cara dan bagaimanapun. Bila beberapa hal tadi menemui kegagalan dalam meraihnya, maka seseorang itu biasanya akan dihinggapi penyakit rasa rendah diri.
Hal ini terjadi pada masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada dekade 60han sampai dekade 80hal. Seperti kita ketahui bahwa, kehidupan sebagian besar masyarakat Pesisir yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, menggantungkan kehidupan dengan mencari ikan di laut dan mengolah tanah pertanian.
Sehingga pada waktu itu kehidupan masyarakat serba paspasan, tidak seperti sekarang ini semua serba berkecukupan. Dalam masa ekonomi yang serba kekurangan, membuat para remaja harus hidup apa adanya.
Banyak para remaja harus rela membantu orang tua turun ke sawah bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pinggir pantai, dan bekerja sebagai nelayan bagi masyarakat yang tinggal di pinggir pantai.
Dari penghasilan yang didapat hanya bisa digunakan untuk biaya kehidupan se hari-hari. Kalau sudah demikian, sudah bisa dipastikan para remaja tidak akan pernah dapat menyisihkan sebagian penghasilannya, yang kelak akan digunakan untuk keperluanlainnya, termasuk untuk biaya pesta bagi para pria yang akan melangsungkan pernikahannya.
Di sisilain, kehidupan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga tidak jauh berbeda dengan kehidupan remaja di daerah lain. Setiap remaja yang telah memasuki usia perkawinan, sudah tentu akan berhasrat untuk menikah demi melanjutkan keturunan.
Sementara untuk melaksanakan hal demikian, bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena harus membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi ukuran isi kantong para remaja yang memasuki usia pernikahan pada waktu itu.
Hal inilah yang biasanya membuat miris hati sebagian orang tua yang memiliki anak memasuki usia pernikahan, apalagi pihak wanita yang menjadi pacar si pria terus mendesak agar segera menikahinya.
Bila si pria tidak mampu memenuhi permiintaan si wanita, maka biasanya timbulah berbagai gosip di tengah-tengah masyarakat. Bila gosip itu bernada miring, alamat si pria akan mendapat malu, bila gosip itu bersifat positif, akan ada orang-orang yang mengusulkan agar si pria melarikan wanita itu ke rumah Tuan Khadi.
Terkadang usulan itu datang dari orang tua si pria itu sendiri, karena merasa tidak mampu membiayainya.  Kalau sudah demikian, timbullah niat si pria menempuh jalan pintas dengan membawa si wanita lari kerumah tuan khadi Nikah, agar mereka dapat dengan mudah melangsungkan pernikahannya.
Inilah yang dinamakan ”Mangalua”. Bilamana antara pria dan wanita sepakat untuk mangalua, apa lagi waktunya sudah ditentukan biasanya, beberapa hari lagi akan Mangalua, si wanita tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, memindahkan sebagian pakaiannya ke rumah orang yang tinggal dekat dengan rumah Tuan Khadi.
Pada hari yang telah ditentukan tiba, si wanita keluar dari rumah biasanya pada jam 7 malam, sementara si pria menunggu tidak jauh dari rumah si wanita. Dengan jalan mengendap endap agar tidak ketahuan oleh tetanggga si wanita. Setelah aman dari pantauan masyarakat, barulah mereka bergerak menuju ke rumah Tuan khadi.
Setelah sampai di rumah Tuan khadi, sang pria mengutarakan maksud mereka kepada Khadi nikah. Biasanya Khadi nikah, langsung merespon apa yang dimaksud oleh pasanan tersebut lalu memerintahkan sang Pria agar segera meninggalkan tempat dan pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, berita ini segera meluas ke pelosok kampung. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan biasanya Bapak Tuan khadi pagi itu juga langsung memberitahukan hal ini kepada ke dua orang tua pihak perempan yang di luakan pria tersebut, lalu meminta saran atau pendapat ke dua orang tua perempuan.
Bila kedua orang tua perempuan tidak merasa keberatan maka kedua pasangan ini akan segera dinikahkan dengan terlebih dahulu memberitahukan Kepala Desa sebagai saksi mewakili pemerintahan desa. Setelah akat nikah selesai, barulah segala persyaratan administerasi di urus agar pernikahan syah menurut hukum negara.
Namun tidak semua orang tua si gadis rela diperlakukan dengan cara melarikan anak gadisnya kerumah Khadi, atau yang biasa di sebut mangalua. Kalau sudah demikian, biasanya para tokoh masyarakat atau tokoh adat, akan segera turun tangan untuk menyelesaikan masaalah ini.

Faktor Penyebab Terjadinya Mangalua

Ada beberapa Faktor yang menyebabkan terjadinya mangalua, di kalangan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, yang sekarang ini sudah jarang terjadi. Paktor pertama biasanya adalah masaalah ekonomi bagi keduabelah pihak, seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini.
Kedua adalah paktor kedudukan. Yang dimaksud dengan paktor ini adalah, apabila keluarga perempuan memiliki perekonomian yang serba berkecukupan, yang banyak memiliki harta yang banyak, biasanya tidak akan pernah merestui gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan.
Kalau sudah demikian maka, kedua insan yang berlainan status ekonomi ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Ketiga adalah paktor keturunan. Adapun maksud dari paktor ini adalah, bila si perempuan berasal dari keluarga ternama sejak dari kakeknya, tidak akan pernah merestui anak gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan. Kalau sudah demikian, maka kedua insan yang berlainan status keturunan ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Demikianlah sekilas tradisi dalam adat yang diadatkan pernah terjadi dahulu di tengah-tengah masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.    
( Sumber: Bunga Rampai Pesisir Kota Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu )

TRADISI YANG MASIH DAN HARUS TERJAGA DI PESISIR SIBOLGA (part I)

TRADISI TURUN KARAI PADA MASYARAKAT PESISIR TAPANULI TENGAH dan KOTA SIBOLGA
                        Setiap Etnis selalu memiliki tradisi tersendiri dalam mengaktualisasikan setiap kegiatan, baik yang bersifat kekeluargaan atau yang bersifat umum. Tradisi yang ada disetiap etnis sangat beraneka ragam. Ada tradisi turun kesawah, tradisi tolak bala, dan tradisi lainnya.
    Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, ada sebuah tradisi yang biasa disebut tradisi turun karai. Tradisi ini selalu dilakukan oleh masyarakat yang tinggal disetiap kecamatan yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, walau dalam pelaksanaannya selalu perbedaan antara satu kecamatan dengan Kecamatan lainnya, namun perbedaan tersebut bukan jadi penghalang dalam melaksakannya.
    Tradisi turun karai ini adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga secara berkala dan pada waktu tertentu dalam ruang lingkup kehidupan berkeluarga. Tradisi turun karai tersebut sampai sekarang masih terus dilakukan karena memiliki nilai yang sangat pundamental di tengah tengah kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
    Tradisi ini diperkirakan telah ada dan dilakukan sejak abat ke sepuluh masehi sampai sekarang. Tradisiyang sangat kental dengan unsur keagamaan ini, memiliki arti penting dalam membina mentalspirtual, sehingga dalam setiap tahapan pelaksanaannya tidak terlepas dari tuntunan agama Islam.
    Bagi kebanyakan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga merasa bangga apabila dapat melakukan acara ini terhadap anaknya yang baru lahir, namun bukan berarti kegiatan ini menggambarkan sitrata tingkat ekonomi masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan siapa saja karena tidak memerlukan biaya banyak.

                    Namun entah apa penyebabnya akir akir ini, tradisi kegiatan turun ka rai sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Pesisir yang mendiami Pantai Barat Sumatera Utara. Mesjit Raya Kecamatan Barus, Mesjit Raya Pasar Sorkam, Mesjit Agung kota Sibolga yang mewakili seluruh mesjit yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga menjadi saksi bisu dalam pelasanaan acara ini.
    Perlengkapan acara
    1-    Ayunan yang terbuat dari rotan atau sebangsanya lalu dihiasi
    2-    Payung kuning.
    3-    Kain panjang.
    4-    Air limau untuk mandi.
    5-    Selendang putih.
    6-    Kue Itak. (Tepung beras dicampur dengan gula dan minyak pisang lalu dicampur dengan Durian (Kalu ada) lalu diaduk hingga merata, masukkan air sedikit lalu di bulatkan dengan cara mengepalnya. Setelah berbentuk bulatan bekas kepalan lalu dikukus.
    7-    Beras kunyit dicampur dengan bunga-bungaan yang telah di buka dari kelopaknya.

Cara pelaksanaannya
Setelah bayi berumur empat puluh hari, dan si ibunya uda bersih dari Nipas (Menurut tuntunan agama Islam) lalu di hari pelaksanaannya, biasanya hari yang dipilih hari Jum'at. Pada hari Jum'at pagi sekitar jam tujuh si bayi dan si Ibu sudah keadaan bersih dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar.
Lalu si Bayi di gendong oleh oncunya dan si Ibu memakai kerudung putih dan salah seorang dari rombongan membawa Itak Itak dengan berjalan kaki menuju Mesjid yang terdekat, diiringi para tetangga baik laki laki dan perempuaan yang membawa mukenanya (Telekung) masing masing. Sejak dari turun kebawah atau keluar rumah, si Bayi dipayungi dengan payung kuning beserta ibunya.
 Lima puluh meter menjelang sampai ke Mesjid, salah seorang muazzin Mesjid melakukan azan (Bukan Azan untuk Sholat) sebagai sambutan kepada bayi yang baru lahir kedunia ini. Sesampainya di Mesjid, Payung kuning di dirikan di sebelah kanan pintu Mesjid lalu si bayi lalu dimadikan dengan air yang terdapat dalam kulah Mesjid.
Setelah air merata mengenai badan si bayi, lalu kepalanya disiram dengan air limau, seiring dengan itu pula para rombongan mengambil air udluk bagi yang belum berudluk dari rumah. Setelah selesai Azan berkumandang, Bayi yang sudah di bedung dengan kain panjang lalu ditidurkan di tengah Mesjid dengan dijaga oleh salah seorang kerabatnya.
Para rombongan lalu masing masing mendirikan sholat Dhuha. Setelah selesai Sholat Dhuha, rombongan keluar dari dalam Mesjid yang pertama keluar adalah salah seorang yang membawa Itak Itak lalu si Bayi dan Si ibu lalu dipayungi kembali seperti semula, sebelum melangkah sianak didirikan sampai kakinya menyentuh tanah. Setelah itu si anak kembali di gendong lalu berjalandengan  diiringi rambongan. Biasanya disepanjang jalan sudah menanti anak anak kecil berdiri di sepanjang jalan menuju rumah si bayi, lalu sambil berjalan, Itak Itak yang dibawa dibagikan satu persatu kepada anak anak tersebut.
Adapun maksud membagikan Itak Itak tersebut adalah untuk menyambangi semangat (Sumangek) si Anak agar tumbung menjadi orang yang baik dan rela menolong sesama. Setelah sampai di rumah, kakek dan nenek sianak dari kedua belah pihak nyambutnya dengan siraman beras kunyit, lalu berkata ”Selamat datang munak ale!.......Salamat datang munak ale!..........Salamat datang munak ale.
Demikialah yang diucapkan oleh sang kakek dan nenek si anak dengan bergantian. Setelah sampai di pintu lalu sianak dimasukkan kedalam ayunan yang telah dihias lalu diayun dengan berpantun seperti pantun di bawah ini :

Ayunkan tajak ayunkan tajak
Tajak sarimbang dari jao
Ayunkan anak ayunkan anak
Anak satimbang samo nyao


Tradisi Manjanguk (Tukam) Bagi Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga
    Kematian adalah sesuatu yang pasti. Dan itu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia tanpa kecuali di permukaan bumi ini. Tiada satupun yang hidup kekal dalam kehidupan ini, semua akan masuk kedalam kematian sesuai dengan petunjuk berbagai kitap suci, termasuk kitap suci Al Qur'an selaku kitap suci umat Islam yang kita yakini sampai saat ini.
Setiap kematian yang menimpa warga masyarakat, selalu mendapat perhatian dari warga dimana kematian itu terjadi. Lalu wargapun datang untuk melayat untuk menyampaikan rasa perihatin dan belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.
Dan hal ini lumrah dilakukan disetiap ada warga yang ditimpa kemalangan di daerah manapun berada. Namun tata cara melayat ini selalu sama dan hampir tidak ada perbedaannya dari daerah satu dengan daerah lainnya di nusantara ini. Tidak demikian halnya dahulu di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga dahulu mempunyai tradisi tersendiri dalam melayat bila ada salah seorang warga yang ditimpa kemalangan. Namun tradisi tersebut hampir tidak ada bedanya dari daerah lain. Yang membedakaannya hanya letak kain yang tergantung di bahu para pelayat laki laki.
Bila dilihat dari krakter tradisi ini tidak begitu mempunyai nilai historis secara menyeluruh, tetapi hanya sebagai sebuah simbul penyampaian berita bagi warga setempat. Dari itulah mungkin membuat masyarakat akir akir ini tidak melakukannya lagi.
Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam buku ini agar generasi sekarang dan yang akan datang dapat mengetahui bahwa tradisi ini pernah ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Ini adalah sebuah tugas pewarisan yang harus disampaikan, mengingat perkembangan budaya luar yang begitu dahsyat menyerang budaya kehidupan generasi muda di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga.
Sudah menjadi tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga, apabila ada yang ditimpa musibah kematian. Para pelayat laki laki selalu memakai baju teluk belanga, lalu menyandang kain yang sudah dilipat sedemian rupa di atas bahunya.
Dari bentuk dan cara meletakkan kain yang terlipat inilah masyarakat umum dapat mengetahui jenis kelamin, orang tua atau anak anak yang meninggal dunia tersebut.Cara ini dahulunya menjadi sebuah tradisi di setiap desa di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga.

Inilah sebuah tradisi yang unik dan tidak dimiliki oleh etnis lain. Tradisi ini sudah berlaku turun temurun di kalangan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan kota  Sibolga. Namun belakangan ini tradisi tersebut sudah tidak dilakukan lagi, bahkan generasi sekarang tidak mengetahui tradisi ini pernah ada di daerahnya.


Bila yang meninggal dunia adalah laki laki dewasa yang telah berkeluarga, maka letak kain yang dilipat biasanya di atas bahu sebelah kanan, lalu ujung kain yang mengarah kebelakang.






       
            Bila yang meninggal laki laki dewasa yang belum berumahtangga, maka letak kainnya tetap di atas bahu kaman tetapi ujung kain arah ke depan.





           

Bila yang meninggal dunia laki laki yang baru lahir atau yang masih dibawah umur maka kain digantungkan di tangan sebelah kanan, ujungnya mengarah ke belakang.






Bila yang meninggal dunia perempuan dewasa yang sudah berumah tangga, maka letak kainnya biasanya di atas bahu kiri, ujung kain mengarah kebelakang.



   


            Bila yang meninggal perempuan yang belum berumahtangga ujung kain mengarah ke depan.







Bila perempuan yang meninggal perempuan yang baru lahir atau masih di bawah umur, maka letak kain digantungkan di tangan sebelah kiri ujung kain mengarah ke depan.




Cara melipat kain

Pertama kain sarung dibentangkan, lalu dilipat dua dengan mempertemukan ujung dan pangkal kain. Setelah itu kain dilipat lagi dengan mempertemukan kedua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain. (Lihat gambar)

Ciri Khas Warung Nasi Masyarakat Pesisir Yang Sudah Tidak Dijumpai Lagi di Daerah Pesisir dan Kota Sibolga.

    Seperti yang penulis ungkapkan pergeseran dalam budaya Tikar putih untuk tamu agung, berimbar juga pada tata cara yang selama ini dalam budaya berjualan nasi ala Pesisir. Kebiasaan dalam tata cara budaya berdagang nasi pada Etnis Pesisir yang dahulu sekarang ini sudah tidak dijumpai lagi, kalaupun masih ada hanya terdapat di sebuah warung nasi di daerah Pagadungan.
Sebagai orang yang berasal dari Etnis Pesisir yang pernah tinggal di daerah Tapanuli Tengah apa bila kita membayangkan, setidaknya mengingat dahulu pada saat kita makan diwarung nasi yang ada di Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga. Seiring dengan itu pula, dipastikan kita akan dapat membayangkan betapa hitamnya sebuah belanga yang sengaja diletakkan diatas sakka (wadah yang terbuat dari kuli kelapa) dalam Stailing dengan sebuah sendok yang terbuat dari batok kelapa, bagai mana hitamnya sebuah periuk dengan dialasi buhulan kain bekas.
Kita akan dapat pula membayangkan bagai mana tata cara dan situasi warung nasi yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga dengan segala lezatnya gulai ikan Yu, gulai ikan Gabu, gulai ikan Aso – aso atau Gambolo. Tidak sampai disitu, kita masih dapat merasakan betapa cerianya gelak tawa para nelayan yang duduk menikmati segela kopi tubruk.
Namun hal seperti diatas, tidak akan kita jumpai lagi sekarang ini, padahal kalaulah kebiasaan yang sudah mentradisi ini tetap dipertahankan, sudah barang tentu akan menjadi sebuah ciri khas tersendiri bagi daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga yang tidak dimiliki daerah lain di Sumatera Utara, akhirnya akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Pesisir.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di daerah, penulis berkesimpulan bahwa banyaknya masyarakat yang kurang menyadarinya sehingga beralasan demi sebuah kebersihan. Mereka menganggap cara lama dengan meletakkan sebuah belangan diatas steling akan mengurangi kebersiahan dan keindahan. Mereka tidak menyadiri bahwa dengan cara ini akan membangkitkan selera orang luar yang ingin menikmati menu makan yang tersedia.   
Pada hal, dengan mempertahankan cara – cara lama ditambah memadukan nya dengan dengan cara lainnya akan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakt itu sendiri. Lebih jauh hasil yang akan dicapai dengan keragaman ini, Pemerintahan Kabupaten tinggal membuat perencanaan dalam meng akomodasi sebuah kegiatan dalam memasarkan daerah wisata yang ada, serta memadukannya dengan kegiatan budaya – budaya lainnya.

Dalam kegiatan sebuah pesta pantai misalnya, betapa indahnya sebuah kegiatan apa bila pihak panitia dapat menyuguhkan santapan yang masih bersifat tradisi seperti makan di warung yang masih memakai cara cara lama, kepada para tamu atau wisata yang datang menyaksikan kegiatan tersebut.

Kita melihat penomena sekarang ini, bahwa manusia sudah menemui titik kejenuhan apa bila mendapatkan sesuatu yang biasa didapatkannya. Tidak mengherankan apa bila kita merujuk pada tatanan kehidupan di manca negara. Gebyarnya kehidupan yang serba moderen, glamornya sebuah kebebasan, namun tidak membuat orang – orang eropa merasa puas.

Orang – orang Eropa sengaja mengeluarkan uang banyak untuk datang kesatu daerah yang sangat asing bagi mereka. Mengapa pulau Bali menjelma menjadi sebuah daerah tujuan wisata bagi warga negara asing. Kalau kita jujur, keindahan alam Pulau Dewata ini tidak lebih indah dari alam Pesisir yang kita cintai ini.

Tapi secara jujur kita akui, Etnis Bali adalah Etnis yang tetap mempertahankan semua tradisi yang turun temurun dari leluhurnya, mereka tidak serta merta meninggalkan tradisinya walau wisatawan yang datang silih berganti. Kita bandingkan dengan daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga yang juga salah satu daerah tujuan wisata di Sumatera Utara.

Perlu dijelaskan bahwa, manajemen yang akuntabel akan tidak berarti apa – apa, bila sipembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintahan Kabupaten dan Kota tidak secara maksimal memberikan penerangan kepada masyarakat. Dari itu tidak ada kata terlambat. Memulai itu lebih baik dari tidak sama sekali. Kita berharap kepada pihak pemegang kebijakan sebaiknya mencoba memberikan penerangan kepada masyarakat akan perlunya mempertahankan tradisi lama bahkan kalau bisa tetap melestarikannya agar tidak punah tanpa bekas.

Tetapi mempertahankan dan melestarikan bukan berarti tidak mengesampingkan teknologi yang ada sekarang. Kita bisa ikut perkembangan jaman, tetapi janganlah hendaknya kemajuan tersebut membuat kita tercabut dari akar kebudayaan lama yang mempunyai nilai luhur yang mentradisi salama ini.
(Sumber: Bunga Rampai Pesisir Kota Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu )

Wednesday, September 9, 2015

KENAPA HARUS JADI OGEK UNING DUTA WISATA SIBOLGA 2015...????

Banyak orang nanya-nanya...kenapa sih harus jadi Ogek Uning Duta Wisata Sibolga...??
Emang apa enaknya....apa istimewanya...??
Yang gak pernah tau tentang kegiatan Ogek dan Uning (selanjutnya disebut Ogun) mungkin hanya berfikir kerjanya cuma nampang sana sini.....padahal Ogun punya peran yang cukup penting pada kegiatan promosi Pariwisata Sibolga khususnya dan Sibolga seutuhnya umumnya....
Apa aja sih untungnya.....:
1. Ogun diikat kontrak dengan Dinas Budparpora Kota Sibolga selama setahun full, tentu saja dengan kompensasi honor yang cukup lumayan lah.....
2. Ogun akan ikut serta pada kegiatan Promosi Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Sibolga baik di dalam kota, Luar Kota kayak Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) dan Festival Danau Toba (FDT)

bahkan Luar Provinsi.......what...luar Provinsi ???.....emang iya...???
ya iya lah....pada April 2015 yang lalu, Ogun melakukan promosi Seni dan Budaya sampai ke Batam Loh.....kapan lagi coba naek pesawat pake uang negara....hehehehe...
Selfie Setelah Penampilan
Bukti Spanduk
3. Bisa ikut serta secara otomatis pada kegiatan kepemudaan seperti Jambore Pemuda Indonesia (JPI) atau BPAP (Bakti Pemuda Antar Propinsi)
4. Mewakili pemuda di Kota Sibolga dalam acara-acara pertemuan ataupun wawancara seperti di RRI maupun di media cetak lain...
Masih banyak lagi loh sebenarnya yang lain.....Berhubung otak lagi gak fokus...sementara ini dulu ya.....Ogun-Ogun yang lain yang mau nambahin, silahkan add di comment yaa....thanx...











ALAT MUSIK TRADISIONAL PESISIR


ALAT KESENIAN ETNIS PESISIR TAPANULI TENGAH dan KOTA SIBOLGA
Seperti kesenian tradisi lainnya, kesenian Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, mempunyai alat kesenian yang telah dikenal turun temurun oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga sejak dari Kecamatan Sibabangun sampai Kecamatan Manduamas, walau sedikit ada perbedaan seperti alat kesenian yang ada di Barus,
Alat kesenian tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga terdiri tiga bagian seperti alat musik tiup seperti Singkadu, alat musik gesek seperti Biola, alat musik tokok seperti gendang, sedangkan alat musik petik seperti Akordion yang belakangan ini dipergunakan sebagai instrumen tambahan.

SINGKADU

Singkadu adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu, bentuknya panjang, memiliki lubang, sedangkan lokasi lubang dimana si pemain akan meniup adalah berada pada pangkal bambu dengan mencipkan ujung bambu.

GENDANG
 
Gendang gadang yang berfungsi sebagai bas yang terbuat dari kayu yang biasanya dari pohon kelapa yang dikeruk bagian tengah hingga tembus seperti cincin. Biola
               
BIOLA
 
Biola adalah salah satu alat musik tradisional Pesisir. Adapun bentuknya tidak berbeda dengan Biola yang biasa kita jumpai dipasaran.
Adapun tata cara memainkan alat musik tersebut, sangat berbeda sesuai dengan lagu dan vokal yang di lantumkan oleh vokalis budaya Pesisir. Perlu dijelaskan bahwa tidak semua pemusik yang handal bisa memainkan alat musik seperti diatas apa bila mengiringi vokal dan lagu tradisi Pesisir yang sangat tergantung kepada rasa dan resam alunan irama lagu dan vokal tradisi Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.

AKORDION

akordion adalah alat musik yang sebenarnya adalah alat musik yang berasal dari eropa, namun dengan perkembangan waktu, alat musik ini juga diakui sebagai alat musik tradisional dimana alat musik ini memainkan peranan penting dalam mengiringi alat musik yang lain.


IRAMA VOKAL LAGU TRADISI PESISIR TAPANULI TENGAH dan KOTA SIBOLGA
Irama dan alunan suara vokal lagu tradisi Pesisir sangat berbeda dengan irama vokal tradisi lainnya yang ada di Sumatera Utara. Irama dan alunan suara vokal lagu tradisi Pesisir diharuskan dengan suara tinggi pada saat melantumkan irama lagu yang biasa disebut lagu Sikambang. Alunan suara vokal sikambang sangat tergantung kepada perasaan orang yang melagukannya, ditambah lagi warna irama vokal yang disuarakan dengan suara lantang dengan notase yang tinggi, sehingga dibutuhkan pola tingkah dan cara memainkan alat musik yang tinggi pula sesuai dengan notase suara orang yang yang melagukannya.
Lagu Sikambang misalnya yang dalam istilah Pesisir bernama Karambi randah yang biasanya mengiringi tari anak. Lagu ini dari sejak pantun pertama diharuskan dengan notase tinggi sehingga apa bila sipelagu tidak memiliki napas yang panjang janganlah melagukannya karena akan berimbas kepada musik yang mengiringinya, Demikian juga lagu Duo yang biasanya mengiringi tari adok, kalau dilihat secara nyata hampir semua vokal lagu Sikambang mengharuskan sivokalis harus bisa bersuara dengan lantang dan bernapas panjang, hanya ada beberapa vokal saja yang secara umum bisa divokalkan dengan suara rendah seperti lagu Kapri, lagu sampaya, dan lagu Sikambang Botan.
(Sumber : Bunga Rampai Pesisir Kota Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu)

TARI TRADISIONAL PESISIR ( PART III )

Tari Gelombang Duo Baleh
TARI GALOMBANG DUO BALEH
Sejarahnya.

    Galombang Duo Baleh adalah salah satu seni pencak silat tradisi pada masyarakat Pesisir di Tapanuli Tengah Sibolga. Keberadaan seni pertunjukan ini tidak terlepas dari sistim pemerintahan kerajaan jaman dahulu di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga yang dari waktu ke waktu dipimpin oleh raja.
Menurut hasil penelitian yang kami laksanakan beberapa waktu yang lalu, terdapat tiga kerajaan besar di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, antara lain : Raja Barus Hulu, Raja Barus Hilir dan Raja Sibolga ditambah dua Kerajaan kecil yaitu Raja Kalangan dan Raja Tuka. Sudah menjadi kebiasaan dalam menjaga kewibawaan seorang raja selalu dibentengi oleh kelompok-kelompok orang yang mahir dalam ilmu bela diri, baik ilmu bela diri secara lahir maupun ilmu bela diri secara batin, sehingga kemanapun raja berkunjung selalu dikawal oleh sekelompok pesilat tangguh dari kerajaan itu sendiri.
Berakhirnya sistem kerajaan sampai kepada sistem pemerintahan Republik, seni pertunjukan yang berakar dari seni pencak silat tradisi ini masih terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal inilah
yang mengilhami para para pelaku budaya, sehingga dapat memadukan karakter seni bela diri dengan seni tari sehingga menghasilkan gerakan-gerakan indah yang diiringi oleh musik dan vokal, apa lagi seni ini sudah ditata dengan komposisi barisan dan jumlah orang yang ditampilkan dalam seni pertunjukan ini.
Mengapa harus duabelas orang ? Menurut pendapat para pelaku budaya di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, dua belas jumlah pemain  mempunyai makna dua belas bulan dalam satu tahun, sehingga seni ini dinamakan Galombang Duo baleh.
Pelaksanaannya.
Dalam pelaksanaan pesta pernikahan dalam adat Sumando di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, didapati beberapa tahapan dalam pelaksanaan tari-tarian tradisi Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga yang kami rangkum.
Setiap perlehatan dalam pelaksanaan pesta pernikahan dalam adat Pesisir selalu didasari oleh adat dan seni budaya, sejak dari kegiatan pada malam hari (malam barinei) sudah ditampilkan bermacam tarian
Di jelaskan bahwa pada saat pemberangkatan pengantin pria (marapulei) ke rumah pengantin wanita (anak daro) selalu diiringi oleh kaum kerabat handai dan tolan. Dalam prosesi ini barisan yang paling depan adalah para ibu dan anak gadis, di barisan berikutnya adalah beberapa orang yang yang salah satunya adalah menjunjung Bungo Lomau (sunting) yang diiringi oleh pengantin pria yang berjalan di bawah payung kuning. Sementara yang barisan berikutnya diiringi oleh sekelompok pemusik tradisi yang biasa disebut anak alek (pasikambang) dan kelompok Galombang duo baleh dengan seragam warna kuning, yang berada di barisan paling belakang adalah kaum bapak.
Selama dalam perjalanan menuju ke rumah pengantin wanita, suara musik seperti biola ditambah suara okardion dan suara gendang tiada henti-hentinya mengiringi vokal dengan pantun sahutmenyahut.
Menjelang sampai ke rumah pengantin wanita, prosesi berhenti sejenak untuk menerima sambutan
dari pihak pengantin wanita (anak daro). Pihak pengantin wanita menyambut secara adat pula orang yang mewakili memberikan sambutan dengan berpantun dan gurindam.
Mengarak Pengantin

Cara Gerak dan langkah Galombang Duo Baleh
Setelah membuat komposisi dengan barisan tiga berbanjar dengan jarak satu meter dari posisi masing-masing, kelompok gelombang duo baleh yang berjumlah dua belas orang ini duduk setengah bersimpuh dengan kaki kanan setengah berdiri dan kaki kiri melipat ke bawah dengan dikumandokan seorang sebagai pembawa.
Seperti dikomando kedua kelompok galombang ini secara bersamaan saling memberi hormat seiring itu kedua kelompok ini setengah berdiri dengan kaki kanan melentik arah ke depan kaki kiri menjulur ke belakang, tangan kanan melentik ke atas arah ke depan sedangkan tangan kiri melentik ke bawah dengan gaya seperti membuat kuda-kuda. Dengan perlahan kedua kelompok ini melangkahkan kaki kiri arah ke depan.
Ragam ini berlanjut sampai pada hitungan tiga, pada saat hitungan empat, masing-masing kelompok melangkahkan kaki kiri masing-masing arah ke kiri. Hal ini berlanjut sampai hitungan tiga. Saat memasuki hitungan empat masing kelompok membalikkan badanya arah ke kanan. Ragam ini bernama Puyuh balik. Memasuki hitungan lima, masing-masing kelompok membuang kaki kiri arah belakang dan kaki kakan melentik tangan kiri melentik ke depan tangan kanan melentik ke bawah dengan komposisi badan tetap menghadap ke depan. Ragam ini bernama Sipekok.
Setelah ragam Sipekok, masing-masing kelompok memutar badan ke arah kiri sambil menarik kaki kiri dan mensejajarkan dengan kaki kanan seraya melangkahkan kaki kanan arah ke kanan dari hitungan satu dan dilanjutkan langkah berikutnya sampai kepada hitungan ketiga.
Saat hitungan empat masing-masing kelompok membalikkan badan arah ke kiri dengan gaya tangan kanan melentik mengayun ke depan dan tangan kiri melentik ke bawah dan mengayun ke kiri.
Demikianlah berulang sehingga sampai pada saat barisan kedua kelompok ini berjarak sekitar  sepuluh hasta seluruh barisan yang ada dibelakang sipembawa berhenti dari aktivitasnya masing-masing hanya si pembawa yang melajutkan gerakan-gerakan silat sehingga sampailah pada titik klimak si pembawa saling serang kepada lawannya.
Melihat hal yang demikian, salah seorang dari pengiring berdiri di antara si pembawa dengan membawa tempak sirih yang biasa disebut Langgue untuk memisah kedua kelompok ini dan sebagai lambang perdamaian tepak sirih (Langgue) tadi diserahkan kepada si pembawa gelombang, maka selesailah acara gelombang duo baleh selanjutnya rombongan pengantin laki-laki disambut pula dengan sebuah tarian  Randei (Tari Dampeng)  

TARI DAMPENG (RANDEI)
Tari Dampeng / Randei

Latar Belakang
Adat Sumando adalah sebuah wadah dimana semua bentuk kegiatan kesenian yang bersifat budaya adat istiadat yang mengatur tata cara dan tahaban- tahaban pelaksanaan pernikahan pada Etnis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, malai sejak tahaban Marisik sampai ketahaban Tapanggi (Mengunjungi keluarga Pria), dari acara pelaksanaan Tarian seperti tari Saputangan, Tari Payung, Tari Adok, Tari sampaya, Tari Sikambang Botan (Pedang) Tari Perak-perak, Tari Ceksity, Tario Piring, Tari Anak, sampai kepada acara mangarak pengantin pria dengan sambutan gelombang dua belas sampai pula keacara Tari Dampeng.
Yang melatarbelakangi keberadaan seluruh tarian yang ada pada Etnis Pesisir adalah dari adaptasi berbagai gerak silat yang dibawa oleh para pendatang dari Minang Kabau, Melayu, Batak, Jawa, India bahkan gerak silat yang dibawa oleh para pedagang Parsi, yang pertama kali menginjakkan kakinya di sebuah Pulau yang bernama Pulau Musala beberapa abat silam.
Perlu dijelaskan kalimat Musala berasal dari kalimat Mur Shalat. Mur adalah sebuah istilah panggilan dalam bahasa Pesisir kepada para pedagang yang datang dari  Parsia, karena Pulau tersebut tempat pertama kali dijadikan tempat Sholat oleh orang Mur maka jadilah Pulau tersebut sampai sekarang bernama Mursala.
Demikian juga kehadiran Etnis Minang Kabau khususnya dari Pariaman yang datang berlayar menyisir pinggiran pantai mengadakan persinggahan disebuah desa yang bernama Aiabi, oleh karena desa tersebut layak untuk ditinggali maka jadilah Etnis Minang Kabau membuat perkampungan.
Oleh perkembangan yang ada, pada akhirnya Etnis Minang Khususnya Parimanan tersebar disetiap desa yang ada di Pantai Barat Sumatera Utara khususnya Tapanuli Tengah Dan Sibolga Demikian pula halnya keberadaan  tari tarian Etnis Pesisir  yang memiliki nilai historis dalam kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, disamping sebagai sebuah seni pertunjukan bela diri yang teradaptasi dari unsur gerak silat yang dibawa oleh para pendatang ke daerah Pesisir.
Dari keindahan gerak yang ada dalam setiap Tarian, maka jadilah Tarian tersebut menjadi salah satu kekayaan khazanah keanekaragaman Tari dalam kesenian Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Wajar bila dikatakan setiap tarian yang ada pada Etnis Pesisir mempunyai Eksistensi dan makna Simbolik dalam gerak langkah maju mundurnya kebudayaan dalam Etnis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, karena menurut para pelaku budaya, diperkirakan tari Etnis Pesisir sudah ada sejak tahun 1500, nara sumber Bapak Sj. Pasaribu.
Oleh perjalanan waktu, setiap Tarian  mengalami perkembangan  berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga seluruh tarian tersebut dikenal oleh Etnis Pesisir Tapanuli Tengah sejak dari Kecamatan Manduamas sampai ke Kecamatan Sibabangun.
Tata Cara Tari Dampeng
Proses pelaksanaan tarai ini tidak begitu rumit. Setelah upacara penerimaan pengantin pria  (marapulei) dengan gelombang duo baleh, maka kedua kelompok pesilat gelombang ( kelompok pesilat yang menerima/pihak pengantin wanita (anak daro), kelompok yang diterima (pihak marapulei) yang berjumlah tujuh orang tersebut membuat lingkaran, yang di tengah lingkaran tersebut diletakkan jambangan yang penuh dengan bermacam-macam bunga ( Bahasa Pesisr Bungo Limou / Sunting ) Jumlah tujuh orang pesilat gelombang diambil tiga orang dari pesilat penerima lebih sedikit dari pesilat yang diterima maksudnya karena pihak penerima adalah pihak yang dikalahkan dalam acara adu ketangkasan saat penerimaan, sedangkan empat orang dari pihak yang diterima atau lebih banyak dari pihak penerima karena sudah memenangkan pertandingan dari adu ketangkasan. Properti sebagai berikut:
1.     Empat orang laki-laki memakai pakaian silat pembawa tabir (Sampangan).
2.     Tujuh orang laki-laki memakai pakaian silat membawakan tari Dampeng.
3.     Satu orang perempuan membawa (menjunjung jambangan bungo Limou)
4.     Jambangan
5.     Tujuh macam bunga
6.     Dua helai Tabir (sampangan)
Nama-nama bunga :
1.     Bunga Longging
2.     Bungo Cimpago
3.     Bungo Puding dengan dua warna
4.     Bungo Pagaran
5.     Bungo Sari kayo
6.     Bungo Rampei
7.     Bungo sibalik angin.
Makna Simbolik
Sangatlah nyata makna simbolik yang terkandung dalam keberadaan dan eksistensi tari Dampeng ini pada etnis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, sejak dari arti Pantun yang diucapkan saat menggelar tarian sampai makna properti sebagai sarat mutlak dalam pelaksanaan tarian ini.
      Penulis mencoba menjelasakan dari arti pantun berikut ini :
Limau purut digenggam ampet
Sisa balimu di ate lamari
Pasang surut ombaknya rapet
Tarimo haluan biduk kami.
Artnya :
Jeruk purut adalah buah asam yang selalu digunakan oleh Etnis Pesisr untuk bahan wewangian saat menjelang masuknya bulan Ramadhan. Digenggam oleh empat orang yang artinya hanya jumlah empat macam tatanan manusia yang hidup di permukaan bumi ini: Pertama Bayi. Kedua, Anak, ketiga orang dewasa, keempat Orang Tua.
    Pasang surut artinya manusia selalu dalam posisi yang lemah disisi Allah Subhanawata’ala.
Ombaknyo rapek artinya selama manjalani kehidupan di dunia ini, kalau kita keluar dari ajaran Agama akan banyak cobaan akan kita hadapi bahkan kita akan menemui banyak halangan dan rintangan.
Tujuh penari Dampeng yang berarti tujuh petala langit dan tujuh petala bumi yang berarti tujuh tingkatan tata cara berpikir manusia di permukaan bumi ini, pertama tidak berakal berarti bayi baru lahir, kedua ada akal itu anak balita, ketiga mulai berakal berarti remaja, keempat sempurna akal berarti orang dewasa, kelima berlebih akal berarti orang-orang tua, keenam kurang akal berarti orang tua yang mulai ujur, ketujuh tidak berfungsi akal berarti orang yang sudah uzur.
Sejarah Tari Dampeng
Pada zaman dahulu di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, terdapat banyak para jawara yang memiliki ilmu silat yang bermacam ragam bentuknya. Seperti ragam “Silat Simbang” ragam “Silat Langkah tigo salut” ragam “Silat Gajah Bakubang” dan ragam “Silat Harimau Sitelpang”.
Untuk menghilangkan rasa iri hati dan rasa keangkuhan di kalangan para jawara, raja yang bertitah pada waktu itu mengadakan satu pertunjukan seni bela diri yang diikuti para jawara yang ada di setiap desa di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, dan itu selalu diadakan setiap tahunnya.
Dari akhir kegiatan seni pertunjukan tersebut selalu diadakan seni pertunjukan bersama oleh pesilat untuk mencari kesamaan ragam dan gaya dari bentuk dan ragam silat yang berbeda yang dahulu kegiatan tersebut dinamakan buk kak galanggang.
Adapun sejarah tari Dampeng oleh para jawara yang ada disetiap desa yang telah dan selalu mengikuti kegiatan melakukan hal yang sama di desanya masing-masing, sehingga terciptalah satu ragam yang ritmis dan diiringi vokal, agar masyarakat datang untuk menyaksikannya.
    Dari kegiatan ini, terciptalah satu tarian bersama. Karena Pantun yang pertama dilantumkan untuk mengiringi tarian bersama ini diambil dari
salah satu ragam silat yaitu “Babeleng Dampeng” maka dimasukkanlah kalimat Babeleng Dampeng dalam pantun tersebut, maka jadilah tarian ini bernama “Tarian Dampeng”.yang dikenal luas di kalangan etnis Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Tata Cara Pertunjukan Tari Dampeng.
Dengan mengucapkan : Yolaaaaaaa Yooooooooo, maka tujuh orang penari  Dampeng pun segera berjalan mengambil posisi ke kanan dengan hitungan delapan, saat suara vokal mengatakan : Adeeeeeeeeee Tooooooooo maka penari Dampeng membalas putaran arah ke kiri dengan hitungan delapan.
Selanjutnya saat vokal mengucapkan kalimat awal pantun : Tobeleeeeeeeng Sidampeeeeeeeng Limou puruuuuuut tu kini nei, maka penari Dampeng membuka ragam pertama dengan tangan menjulur sejajar ke depan yang bernama  “Alang bakaja” sambil memutar badan arah kanan dengan nama gerakan “Alang Malewek” masing-masing ditengah lingkaran dengan hitungan delapan,  sehingga badan menghadap ke belakang setelah pas kaki kanan melangkah setengah pal sambil melanjutkan putaran setengah pal lagi sehingga posisi kembali saling berhadapan dengan hitungan delapan. Ragam ini bernama “ Tabeleng Dampeng “ Penari kembali menjulurkan tangan sejajar ke arah jambangan bungo limau dambil menepukkan telapak tangan masing-masing seraya menjawab dengan serentak penari dengan kata-kata : Youuuu. Gerakan ini bernama  “ Batapuk “ .
Saat suara vokal mengucapkan kalimat : “Oooooo diganggam Ampek Siso balimou tu kini nei Dalam Lamari”, maka penari Dampeng menjawab dengan kata-kata “Oiiii Antaaaaa Anta” membuat gerakan membuang kaki kanan melingkari kaki kiri sambil menekuk tangan kanan arah ke bawah, kaki kiri sedikit sedikit agak merunduk, posisi tangan kiri melentik ke atas sejajar dengan kepala dengan hitungan delapan. Gerakan ini bernama “Kipe Puccuk” .
Diawal sambungan pantun berikutnya, penari Dampeng membuat putaran ke arah ke kanan sambil berjalan dengan serentak mengucapkan kalimat “ Yolaaaaaaa Yooooooo, Adeeeeeeeeey Toooooooooo “ Saat vokal mengucapkan pantun “ Pasang surut tu kininei, maka penari Dampeng kembali memperagakan ragam seperti semula
Tarian ini bisa berlanjut seiring dengan jumlah pantun yang divokalkan. Di akhir gerakan ini, para penari kembali memberi hormat kepada kedua pengantin dan kepada Tolan atau para undangan.
Busana Tari Dampeng
Busana yang dipakai dalam menarikan tari Dampeng adalah baju dengan teluk belanga (gunting cino) dan celana bertali, dengan ikat kepala yang dinamakan “Deta” memakai kain batik setengah lipatan di atas lutut.
Pakaian terdiri dua warna, warna kuning bagi pesilat dari pihak pengantin pria (marapulai), sedangkan warna merah muda dipakai oleh pesilat yang mewakili pengantin wanita (anak daro). Pelaku tari Dampeng
Asal mula tari Dampeng ini hanya ditarikan oleh orang yang lanjut usia, karena perkembangan zaman, dan berkembangnya tarian daerah lainnya maka tarian Dampeng boleh ditarikan oleh para kaula muda.
Penyajian tari Dampeng.
Setelah selesai adu ketangkasan dalam acara pagelaran gelombang duo baleh saat penerimaan pengantin pria (marapulei) rombongan pengantin pria terus berangsur masuk ke halaman rumah pengantin wanita.
Bungo limou yang dijunjung oleh seorang gadis yang dikawal oleh empat orang pesilat dengan menenteng tabir Lidah-lidah atau sampangan di kiri dan kanan diletakkan di tengah halaman persis di hadapan kedua pengantin yang didudukkan saling berhadapan maka tujuh pesilat yang berasal dari dua kelompok tadi mengambil posisi membuat lingkaran mengitari jambangan bungo limou. Setelah memberi hormat kepada kedua pengantin dan kepada Tolan (para undangan) seiring dengan itu pula terdengarlah suara vokal dari salah seorang pevokal dari kelompok Sikambang.
Makna Tujuh Macam Bunga
Bunga Longging adalah bunga yang selalu disukai setiap orang karena memiliki aroma yang harum baunya. Bunga ini selalu ditanam di sudut halaman rumah. Pohonnya tidak terlampau tinggi biasanya hanya tiga meter dari permukaan bumi. Bunga ini tidak pernah berhenti berbunga. Bentuk bunganya mengembang berwarna putih mempunyai tangkai bercabang. Buahnya berbentuk bulat lonjong bisa dijadikan obat penawar racun. Keberadaan bunga ini melambangkan orang tua yang tidak pernah berhenti memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anak-anaknya.
Bungo Cimpago adalah sebuah bunga yang berbunga satu kali dalam setahun. Biasanya Bunga ini mulai berbunga pada saat menjelang bulan Puasa, Aromanya harum, biasanya bunganya selalu diselipkan di antara lipatan baju dalam Lemari pakaian. Buahnya Bulat panjang dan setelah cukup tua buah itu akan terbelah dua. Buahnya dapat dipergunakan sebagai obat penurun panas bagi anak-anak. Pohonnya berdiameter lebih kurang satu meter. Tingginya bisa mencapai sepuluh meter dari permukaan bumi. Bentuk bunganya seperti guntingan kertas terkesan merundukkan kuncupnya, berwarna lembayung bertangkai tunggal Bunga ini melambangkan anak perawan (gadis) yang pemalu dan selalu mengutamakan keindahan, selalu jadi idaman Pria.
Bungo Puding adalah sebuah bunga yang ditanam di sekitar sumur. Bunga ini tidak memiliki kuncup bunga. Keindahannya hanya dilihat dari warna daunnya yang berwarna-warni. Warna-warni yang terdapat pada daunnya adalah warna hijau, kuning dan sibalik daunnya terdapat warna merah saga. Besar batangnya hanya sebesar ibu jari, sedangkan tingginya hanya lebih kurang satu meter dari permukaan bumi. Bunga ini tidak memiliki buah, dan selalu ditanam di pusara makam. Kita selalu mendengar dalam ceramah para mubaligh, Rasul pernah menancapkan bunga ini pada salah satu makam dimana Rasul singgah melepas lelah dalam satu perjalanan berdagang di antara Kota Mekkah dan desa Tha’ib, karena menurut Rasul, bunga puding dapat menjadi penyejuk bagi mayit yang ada dalam makam tersebut. Bunga ini melambangkan seorang ulama yang selalu memberikan ceramah keagamaan sebagai penyejuk umat.
Bungo Pagaran ini biasanya tumbuh di lereng perbukitan, dan dapat ditanam di pagar-pagar rumah, Bentuknya berakar dan menjalar mengitari setiap sudut pagar. Bentuk daunnya seperti jarum dan bunganya mengembang bentuknya kecil dengan warna berubah-ubah. Saat mulai mengembang warnanya merah, setelah beberapa hari warna merahnya berubah menjadi warna putih. Buahnya seperti buah kacang panjang tetapi tidak sebesar kacang panjang. Buahnya biasa digunakan untuk pengharum masakan seperti rendang daging dan gulai ikan.
Bunga ini melambangkan pemuda yang menjadi pelopor pemersatu dan pemerakarsa, lebih dari itu pemuda adalah menjadi pagar bagi sebuah desa dimana Pemuda tersebut berada. Bungo Sari Kayo adalah sebuah bunga yang sudah tidak dijumpai lagi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Menurut berita bunga ini adalah berbentuk pohon kayu biasa, tingginya bisa mencapai sepuluh meter, bentuk daunnya seperti daun beringin, bentuk buahnya seperti buah kari, bila masak dapat dimakan rasanya terasa sangat enak dan manis.
Dari bentuk isi dan enak rasanya Etnis Pesisir menciptakan sebuah masakan yang terbuat dari larutan telur dicampur dengan sedikit tepung dicampur banyak gula dimasak dengan mengukusnya. Itulah yang bernama Sari Kayo yang dihidangkan untuk pelengkap upa-upah yang diberikan kepada anak yang akan disunat rasulkan, juga untuk upa-upah kedua pengantin saat di pelaminan. Sedangkan bentuk bunganya berbentuk kuncup dan tidak pernah mengembang berwarna putih beraroma harum dan mudah sekali gugur sebelum menjadi buah dan mudah terserang penyakit tanaman apa bila tidak di rawat dengan baik. Bunga ini melambangakan anak balita yang selalu membutuhkan siraman kasih sayang dari setiap orang dan selalu dijaga dan dirawat.
Bungo Rampei adalah sebuah bunga yang juga biasanya ditanam di pekarangan rumah. Bentuknya hampir sama dengan bunga Longging. Bentuk bunganya menjulai ke bawah berbentuk opal berwarna kuning dan ber aroma harum, biasanya Bunga tersebut dicampur bedak pendingin wajah dijemur bersamaan dengan bedak tersebut sehingga apabila sudah kering menjadi harum.   Bunga ini memiliki buah bertandan seperti buah langsat, bentuk buahnya bulat lonjong. Besar batangnya hanya berdiameter setengah meter dan tingginya hanya mencapai tiga meter. Buahnya dapat digunakan sebagai pengobatan Bara (Kanker). Bunga ini melambangkan para tokoh masyarakat yang selalu menjadi panutan dan tempat mengadukan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Bunga Balik Angin adalah sebuah bunga yang tumbuh di tengah padang tempat gembala kerbau atau kambing. Bentuk daunnya sebelah atas berwarna hijau, sebelah bawah berwarna merah, tetapi apabila daunnya mengering warna sebelah atas akan berubah menjadi hitam dan sebelah bawah akan berubah menjadi putih, memiliki bunga mengembang kecil-kecil berwarna lembayung tidak memiliki aroma. Bentuk buahnya bulat kecil dan beraroma kurang sedap. Tinggi pohonnya hanya berkisar satu meter dari permukaan Bumi. Biasanya daunnya yang sudah kering ditaruh di atas kosen pintu depan rumah dinyakini dapat dijadikan penangkal makhluk jahat yang dapat disuruh oleh orang yang memelihara makhluk tersebut. Bunga tersebut melambangakan orang pintar (Paranormal) yang selalu menjadi tempat masyarakat pada waktu itu membawa keluarganya yang sakit untuk berobat.
(Sumber : Bunga Rampai Pesisir Kota  Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu)