Tradisi Mandi Balimou pada Etnis Pesisir Kota Sibolga Menjelang dan Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan
Tradisi adalah perilaku yang terdapat dalam suatu etnis tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat yang terjadi turun temurun, sehingga menjadi sebuah adat istiadat yang tidak tertulis, apa lagi pelaksanaannya menyangkut norma-norma kehidupan masyarakat itu sendiri.
Walupun sebuah tradisi yang tidak tertulis, tradisi adalah sebuah ikatan bagi masyarakat yang sifatnya mengikat, sehingga akan mendapat sanksi apa bila ada anggota masyarakat yang melanggarnya. Hal tersebut yang biasa dikenal dengan hukum adat yang tata cara pengukuhannya melalui musyawarah dalam lembaga adat.
Akan tetapi apabila jenis kegiatannya hanya merupakan kebiasaan yang tidak mengikat dapat disebut tradisi, lengkapnya tradisi dapat diartikan sebuah peraturan kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat secara sadar dan berulang-ulang, sepanjang tidak ada hukum tertentu yang dapat melarang dan membatalkan hukum tersebut. Lain halnya dengan yang dinamakan hukum adat.
`Hukum adat menurut Prof. DR. Supomo, SH hukum yang tidak tertulis di dalam peratuaran-peratuaran legislatif (unstatutory low) yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang wajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat
Lain halnya menurut Ter Har seorang bapak hukum adat memberikan batasan sebagai berikut ”Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan. Jadi hukum adat adalah satu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata”.
Bertitik tolak dari dua serjana ahli hukum adat itu, maka penulis memiliki tolak ukur tersendiri untuk berfikir menulis sisi adat atau kebiasan yang terdapat pada lingkungan masyarakat Pesisir yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah Sibolga yang mempunyai kebiasan dalam menyongsong bulan suci Ramadhan dengan istilah ”Mamogang dan mandi Balimou”. Apakah kebiasan ini timbul dari dasar hukum adat istiadat atau hanya sebuah seremony tradisional ?.
Kalau ditinjau pada sejarah masuknya agama Islam pertama ke Nusantara, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat yang pernah mencapai puncaknya pada pase kejayaannya di Barus sebagai bandar tertua di belahan dunia. Sedangkan tahap pase kedua sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, seperti yang terdapat dalam disertasi seorang serjana University Monalisa Australia yang bernama Miss Jean Dekard yang menyebutkan di Barus dikenal ada dua kerajaan yaitu kerajaan Barus Hulu dan kerajan Barus Hilir. Kerajaan Barus hulu bertempat di desa Kampung Mudik, sedangkan kerajaan Barus Hilir bertempat di Sigambo-gambo.
Yang menjadi pemikiran kita, bisakah kedua kerajaan tersebut hidup berdampingan kalau tidak ada sesuatu hal yang dapat mengikat kedua masyarakat yang memiliki etnis yang sama ?. Kita harus mengakui betapa berakarnya adat dan budaya Pesisir dalam hati masyarakat di dua kerajaan tersebut sehingga dapat terhindar dari perpecahan yang bermuara pada timbulnya rasa dendam yang tidak berkesudahan. Hal ini adalah sebuah kenyataan yang dapat kita saksikan sampai sekarang.
Kegiatan mandi balimou-limou sebagai sebuah tradisi menjadi sebuah momen yang dijadikan para kaula muda untuk bisa langsung bersua pasangannya. Lebih dari sebuah perjumpaan, kegiatan yang telah berlaku berabad-abad silam menjadi sebuah kesempatan pula untuk menyampaikan isi hati setiap insan muda kepada kekasihnya.
Di Sibolga misalnya, sehari sebelum masuknya bulan suci ramadhan, ribuan masyarakat tua dan muda pergi ketempat dimana ada sungai yang mengalir yang bisa dijadikan untuk sebuah kegiatan mandi-mandi dengan membawa bekal seperti nasi dan lauk pauknya disertai juga oleh air Limau (Jeruk wangi) yang telah dicampur dengan tumbukan daun pandan wangi (Musang) serai Betawi dan daun-daun lainnya.
Biasanya masyarakat di Sibolga selalu memilih tempat yang biasanya dijadikan untuk tempat momen ini seperti Sungai Sarudik dan tempat pemandian lainnya yang terdapat di daerah Tapanuli Tengah. Sejak pagi pukul 9.00 sebagian masyarakat sudah mulai berangsur berjalan menuju tempat tersebut.
Pada saat menjelang mandi, air limou yang dibawa sudah dibagikan kepada pasangannya masing-masing, karena tempat untuk laki-laki harus terpisah dari tempat mandi perempuan, dan diharuskan memakai kain basahan mandi. Setelah selesai mandi, barulah diadakan makan bersama dengan duduk lesehan diatas tikar yang dibawa dari rumah. Biasanya tepat jam 3 sore, semuanya telah selesai rombongan bersiap-siap untuk kembali ke rumah.
Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Sibolga, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat di banyak daerah Pesisir seperti Barus, Sorkam dan daerah lainnya. Dalam pelaksanan tradisi ini, sepertinya berlaku sebuah kebebasan dalam arti masih dalam koridor hukum, seperti orang tua seakan tidak dibenarkan melarang, apa bila melihat anak gadisnya berjalan dengan pasangannya. Orang tua hanya bisa mengawasinya dari kejauhan.
Walaupun demikian, bukan menandakan kebebasan itu tidak ada batasnya, seperti apabila sudah menjelang sore, pasangan itu harus segera kembali dan mengantarkan pasangan wanitanya ke rumah orang tuanya. Inilah sekelumit tentang tradisi mandi balimou-limou di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.
Tradisi adalah perilaku yang terdapat dalam suatu etnis tertentu dalam sebuah komunitas masyarakat yang terjadi turun temurun, sehingga menjadi sebuah adat istiadat yang tidak tertulis, apa lagi pelaksanaannya menyangkut norma-norma kehidupan masyarakat itu sendiri.
Walupun sebuah tradisi yang tidak tertulis, tradisi adalah sebuah ikatan bagi masyarakat yang sifatnya mengikat, sehingga akan mendapat sanksi apa bila ada anggota masyarakat yang melanggarnya. Hal tersebut yang biasa dikenal dengan hukum adat yang tata cara pengukuhannya melalui musyawarah dalam lembaga adat.
Akan tetapi apabila jenis kegiatannya hanya merupakan kebiasaan yang tidak mengikat dapat disebut tradisi, lengkapnya tradisi dapat diartikan sebuah peraturan kegiatan yang dilakukan seseorang atau kelompok masyarakat secara sadar dan berulang-ulang, sepanjang tidak ada hukum tertentu yang dapat melarang dan membatalkan hukum tersebut. Lain halnya dengan yang dinamakan hukum adat.
`Hukum adat menurut Prof. DR. Supomo, SH hukum yang tidak tertulis di dalam peratuaran-peratuaran legislatif (unstatutory low) yang meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang wajib toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat
Lain halnya menurut Ter Har seorang bapak hukum adat memberikan batasan sebagai berikut ”Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan. Jadi hukum adat adalah satu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata”.
Bertitik tolak dari dua serjana ahli hukum adat itu, maka penulis memiliki tolak ukur tersendiri untuk berfikir menulis sisi adat atau kebiasan yang terdapat pada lingkungan masyarakat Pesisir yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah Sibolga yang mempunyai kebiasan dalam menyongsong bulan suci Ramadhan dengan istilah ”Mamogang dan mandi Balimou”. Apakah kebiasan ini timbul dari dasar hukum adat istiadat atau hanya sebuah seremony tradisional ?.
Kalau ditinjau pada sejarah masuknya agama Islam pertama ke Nusantara, yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat yang pernah mencapai puncaknya pada pase kejayaannya di Barus sebagai bandar tertua di belahan dunia. Sedangkan tahap pase kedua sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara, seperti yang terdapat dalam disertasi seorang serjana University Monalisa Australia yang bernama Miss Jean Dekard yang menyebutkan di Barus dikenal ada dua kerajaan yaitu kerajaan Barus Hulu dan kerajan Barus Hilir. Kerajaan Barus hulu bertempat di desa Kampung Mudik, sedangkan kerajaan Barus Hilir bertempat di Sigambo-gambo.
Yang menjadi pemikiran kita, bisakah kedua kerajaan tersebut hidup berdampingan kalau tidak ada sesuatu hal yang dapat mengikat kedua masyarakat yang memiliki etnis yang sama ?. Kita harus mengakui betapa berakarnya adat dan budaya Pesisir dalam hati masyarakat di dua kerajaan tersebut sehingga dapat terhindar dari perpecahan yang bermuara pada timbulnya rasa dendam yang tidak berkesudahan. Hal ini adalah sebuah kenyataan yang dapat kita saksikan sampai sekarang.
Kegiatan mandi balimou-limou sebagai sebuah tradisi menjadi sebuah momen yang dijadikan para kaula muda untuk bisa langsung bersua pasangannya. Lebih dari sebuah perjumpaan, kegiatan yang telah berlaku berabad-abad silam menjadi sebuah kesempatan pula untuk menyampaikan isi hati setiap insan muda kepada kekasihnya.
Di Sibolga misalnya, sehari sebelum masuknya bulan suci ramadhan, ribuan masyarakat tua dan muda pergi ketempat dimana ada sungai yang mengalir yang bisa dijadikan untuk sebuah kegiatan mandi-mandi dengan membawa bekal seperti nasi dan lauk pauknya disertai juga oleh air Limau (Jeruk wangi) yang telah dicampur dengan tumbukan daun pandan wangi (Musang) serai Betawi dan daun-daun lainnya.
Biasanya masyarakat di Sibolga selalu memilih tempat yang biasanya dijadikan untuk tempat momen ini seperti Sungai Sarudik dan tempat pemandian lainnya yang terdapat di daerah Tapanuli Tengah. Sejak pagi pukul 9.00 sebagian masyarakat sudah mulai berangsur berjalan menuju tempat tersebut.
Pada saat menjelang mandi, air limou yang dibawa sudah dibagikan kepada pasangannya masing-masing, karena tempat untuk laki-laki harus terpisah dari tempat mandi perempuan, dan diharuskan memakai kain basahan mandi. Setelah selesai mandi, barulah diadakan makan bersama dengan duduk lesehan diatas tikar yang dibawa dari rumah. Biasanya tepat jam 3 sore, semuanya telah selesai rombongan bersiap-siap untuk kembali ke rumah.
Tradisi ini bukan saja dilakukan oleh masyarakat Sibolga, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat di banyak daerah Pesisir seperti Barus, Sorkam dan daerah lainnya. Dalam pelaksanan tradisi ini, sepertinya berlaku sebuah kebebasan dalam arti masih dalam koridor hukum, seperti orang tua seakan tidak dibenarkan melarang, apa bila melihat anak gadisnya berjalan dengan pasangannya. Orang tua hanya bisa mengawasinya dari kejauhan.
Walaupun demikian, bukan menandakan kebebasan itu tidak ada batasnya, seperti apabila sudah menjelang sore, pasangan itu harus segera kembali dan mengantarkan pasangan wanitanya ke rumah orang tuanya. Inilah sekelumit tentang tradisi mandi balimou-limou di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.
ACARA TURUN BATU (BATU NISAN)
Budaya tradisi di Daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, tidak saja mencakup hal – hal yang bersifat keduniaan. Tetapi juga menyangkut bagi orang yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Bila ada seseorang yang meninggal dunia, biasanya dilakukan fardu qifayah seperti layaknya dilakukan kepada seseorang yang telah meninggal dunia di di daerah lain.
Yang membuat berbeda hanyalah setelah memasuki hari ke empat puluh setelah orang tersebut meninggal, ada sebuah tradisi yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Misalnya, seseorang yang meninggal dunia biasanya pihak keluarga yang ditinggal membuat satu acara yang bernama ’ Acara Turun Batu.
Adapun tata cara melaksanakan acara ini, beberapa hari setelah meninggal, pihak keluarga yang ditinggal menempahkan sepasang batu nisan kepada orang yang ahli dalam membuat batu nisan. Pada waktu menempah, pihak keluarga biasanya meminta agar nama, tanggal tahun kelahiran bahkan tanggal dan tahun meninggal diukirkan di batu nisan tersebut.
Setelah selesai, batu nisan yang ditempah di bawa kerumah ahlil bait, dan di letakkan di atas tempat tidur dalam kamar lalu di selimuti dengan kain berwarna. Menjelang hari ke empat puluh malamnya, batu nisan tersebut dimandikan dengan air jeruk purut dan yang dicampur dengan berbagai bunga.
Setelah selesai, batu nisan tersebut kembali di letakkan di atas tempat tidur lalu di selimuti kembali. Setelah selesai, para undangan yang terdiri dari anggota pengajian atau perwiritan membacakan do’a do’a kepada arwah orang yang baru meninggal tersebut. Setelah selesai, para undangan pulang ke rumahnya masing – masing.
Ke esokan harinya, disaat mata hari mulai terbit, para undangan kembali datang ke rumah ahlil bait. Biasanya ahlil bait memberi makan para undangan dengan makanan tradisi seperti Nasi Tuei. Setelah selesai acara jamuan makan, kembali di bacakan do’a do’a seperti semula.
Setelah selesai, barulah batu nisan tadi di keluarkan dari dalam kamar lalu di pikul dengan tetap dalam balutan selimutnya dan dibawa ke makam dimana orang tersebut di kubur, dengan iringan dupa dengan bara api yang dinyalakan. Setelah sampai di kuburan dupa tersebut ditaburi dengan bijan sebangsa biji-bijian.
Adapun tata cara melaksanakan acara ini, beberapa hari setelah meninggal, pihak keluarga yang ditinggal menempahkan sepasang batu nisan kepada orang yang ahli dalam membuat batu nisan. Pada waktu menempah, pihak keluarga biasanya meminta agar nama, tanggal tahun kelahiran bahkan tanggal dan tahun meninggal diukirkan di batu nisan tersebut.
Setelah selesai, batu nisan yang ditempah di bawa kerumah ahlil bait, dan di letakkan di atas tempat tidur dalam kamar lalu di selimuti dengan kain berwarna. Menjelang hari ke empat puluh malamnya, batu nisan tersebut dimandikan dengan air jeruk purut dan yang dicampur dengan berbagai bunga.
Setelah selesai, batu nisan tersebut kembali di letakkan di atas tempat tidur lalu di selimuti kembali. Setelah selesai, para undangan yang terdiri dari anggota pengajian atau perwiritan membacakan do’a do’a kepada arwah orang yang baru meninggal tersebut. Setelah selesai, para undangan pulang ke rumahnya masing – masing.
Ke esokan harinya, disaat mata hari mulai terbit, para undangan kembali datang ke rumah ahlil bait. Biasanya ahlil bait memberi makan para undangan dengan makanan tradisi seperti Nasi Tuei. Setelah selesai acara jamuan makan, kembali di bacakan do’a do’a seperti semula.
Setelah selesai, barulah batu nisan tadi di keluarkan dari dalam kamar lalu di pikul dengan tetap dalam balutan selimutnya dan dibawa ke makam dimana orang tersebut di kubur, dengan iringan dupa dengan bara api yang dinyalakan. Setelah sampai di kuburan dupa tersebut ditaburi dengan bijan sebangsa biji-bijian.
Setelah asap mengepul, barulan batu nisan dipacakak sesuai dengan tempatnya. Bagi nisan yang ujungnya menyerupai bulatan, berarti nisan itu di pacakkan di arah kepala. Bila nisan itu yang ujungnya meruncing, berarti nisan itu di pacakan arah kaki.
Setelah batu selesai di pacakkan, para undangan kembali membaca do’a do’a ke pada arwah orang yang meninggal tersebut, Setelah selesai para undangan kembali pulang kerumahnya masing masing.
Demikianlah sekelumit tentang acara turun batu bagi Etnis Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang sampai saat ini masih selalu dilakukan di beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah dan Sibolga.
Setelah batu selesai di pacakkan, para undangan kembali membaca do’a do’a ke pada arwah orang yang meninggal tersebut, Setelah selesai para undangan kembali pulang kerumahnya masing masing.
Demikianlah sekelumit tentang acara turun batu bagi Etnis Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, yang sampai saat ini masih selalu dilakukan di beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah dan Sibolga.
Tradisi Sunat Rasul Dalam Adat Sumando yang telah terlupakan di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga
Agama Islam adalah salah satu agama resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesaia, dan agama yang dipercaya dan dinyakini oleh masyarakat Pesisir, yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Maka sudah bisa dipastikan bahwa, masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga memeluk agama Islam, dimanapun etni ini berada. Seperti diketuhui bahwa, dalam tuntunan agama Islam, diwajipkan melakukan khitan (sunat rasul) bagi seluruh penganudnya. Karena ada sebuah ancaman dosa besar, bila mana seseorang pemeluk agama Islam bila tidak melakukan syariat ini (khitan atau sunat rasul).
Seperti kita ketahui, dalam melaksanakan khitanan ini, ada beberapa ragam dan cara tradisi adat budaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah di Sumatera Utara dan daerah lainnya di negara kesatuan Republik Indonesia ini, baik pada zaman dahulu dan zaman sekarang ini.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga juga memiliki sebuah tradisi adat budaya, dalam melakukan perhelatan khitanan atau sunat rasul oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Namun oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tradisi yang dahulu selalu dilakukan oleh masyarakat Pesisir, sudah tidak dilakukan lagi.
Pada hal, bila di runut hikmah yang terdapat pada tradisi tersebut, sangat menentukan watak dari anak yang disunat tersebut. Lebih dari sekedar penentuan watak, tradisi itu sangat mengesankan bagi si anak yang di khitan.
Dalam pelaksanaan khitan (Sunat Rasul) terdapat beberapa tatacara atau tahapan yang harus dilakukan sejak dari awal pelaksanaan sampai selesainya acara. Dalam tahapan yang sebenarnya, hampir tidak ada perbedaannya dengan acara sunatan yang diadakan oleh kebanyakan etnis lainnya. Namun dalam pelaksanaan acara sunatan yang melakukan cara-cara terdahulu, belakangan ini sudah tidak dilakukan lagi.
Menjelang pesta sunatan dilaksanakan
Seminggu sebelum acara sunatan dilaksanakan, kedua orang tua si anak harus mengunjungi para kerabat, tetangga dan handai tolan satu persatu untuk mengundang. Dengan membawa Kampi Sirih (Sumpit kecil yang terbuat dari ayaman pandan berisi daun Sirih selengkapnya.
Setelah masuk kedalam rumah orang yang mau di undang, kedua orang tua si anak memberikan Kampi Sirih kepada tuan rumah. Kemudian sesaat si tuan rumah memakan sirih yang di suguhkan, salah seorang dari orang tua si anak mengulurkan tangan sebagai isarat untuk bersalaman.
Dalam aksi bersalaman itu, barulah orang tua si anak menyampaikan kata-kata mengundang kepada tuan rumah yang di kunjungi: ”Saruponyokko anyo da, kadatangan kami karumah Ogek, uningko mambari tau bahaso hari Rabuko datang la munak karumah kami, karano anak kami nan banamo si anu tu nandak kami sunatkan, jadi samo-samo kito liekla anak kami nanandak kami sunatkan tu”.
Kira-kira inilah kata-kata yang selalu di ucapkan setiap datang kerumah orang yang akan di undang yang artinya : Beginilah, kedatangan kami ke rumah ini untuk memberitahukan abang dan kakak bahwa, hari Rabu ini agar datang ke ruma kami, karena kami akan menyunatkan anak kami yang bernama si Anu, jadi sama-sama kita saksikanlah anak kami yang akan kami sunatkan itu.
Mejelang pelaksanaan pesta
Disini kami jelaskan bahwa, tiga hari sebelum pelaksanaan acara pesta sunatan, kerabat terdekat sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang bertugas mengganti tiang peyangga rumah yang telah lapuk dan atap rumah yang bocor, ada yang sibuk mengerjakan pondok tempat memasak di belakang rumah, ada yang sibuk mengupas kelapa, ada yang sibuk mengumpulkan kayu bakar dan bermacam-macam keperluan lainnya.
Induk Inang (Bidan Pengantin) sibuk dengan memasang perangkat pelaminan. Semakin dekat hari pelaksanaan pesta, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan. Bahkan kedua orang tua si anak yang akan disunat harus memporsir tenaga untuk memikirkan jangan ada sesuatu hal yang kurang dalam pelaksanaan pesta tersebut.
Tata Cara Pelaksanaannya
Seperti biasa sejak pagi para pekerja baik perempuan juga laki-laki, sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang sibuk memasak, ada yang sibuk dengan mempersiapkan makanan dan minuman.
Tepat jam sembilan pagi, anak yang akan disunat didudukan di atas kasu basuji yang biasa disebut dalam bahasa Pesisir, sebuah tilam yang telah dihiasi dengan sulaman benang emas sebagai hiasan tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.
Dengan berpakaian seperti pakaian pengantin pria dalam pakaian adat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, anak yang mau di sunat duduk persis membelakangan pelaminan. Setelah sianak duduk, para kerabat si anak secara bergantian memberikan upa-upa dengan menyuapkan nasi putih seraya mencium kening si anak lalu berucap ”Sehat-sehat awak da, panjang umu murah razaki awak, kok ala gadang awak bantu umak samo ayah da” lalu memberikan uang alakadarnya.
Adapun maksud kata nasehat tadi adalah ”Sehat sehatlah kau nak, panjang umur dan murah rezekimu, kalau sudah dewasa bantu ibu dan ayahmu”. Setelah para kerabat selesai mengupa-upa, barula para undangan menyusul menyalami si anak seraya memberikan sumbangan uang alakadarnya.
Setelah para undangan bersalaman dengan si anak, kemudian dipersilahkan duduk di atas tikar dengan posisi saling berhadapan, lalu dihidangi dengan makan bersama, sebagai penghormatan kepada para tamu yang telah datang memenhi undangan.
Tepat pada jam sebelas menjelang siang, si anak digiring mandi ke sungai terdekat, lalu si anak disuruh berlama-lama berendam dalam air. Biasanya petugas untuk menyunat si anak disebut Modim datang pada jam 14 siang. Sebelum tukang sunat datang, si anak tidak diperbolehkan keluar dari air. Adapun maksud anak ini harus lama berada di dalam air agar kulit jakar si anak tidak keras saat di potong.
Karena pada zaman dahulu alat pemotong kulit jakar biasanya terbuat dari sembilu (Kulit pelepah rumbia atau kulit bambu), tidak seperti sekarang yang memakai peralatan yang serba canggih. Jadi bila si anak lama berendam dalam air maka kulit jakarnya akan terlihat lembut saat di potong.
Sementara si anak lagi sibuk mandi sambil berendam di sungai, atau ditempat lain yang dapat membantu proses melembutkan kulit jakar, beberapa orang kerabat si anak mempersiapkan Dulang (Talam) yang terbuat dari tembaga yang ditaburi dengan habu bekas pembakaran kayu, setelah itu habu tersebut dilengkapi dengan ujung pucuk daun pisang,
Setelah Modim atau orang yang akan menyunat si anak datang, maka si anak dijemput ke sungai tampat si anak berendam, lalu dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, si anak disuruh makan sirih yang telah disediakan, Setelah itu si anak disuruh membuka seluruh pakaiannya lalu di dudukkan di atas korsi dengan posisi mengangkang, sementara Dulang atau talam terletak di bawah antara selangkangan si anak.
Dengan posisi yang demikian beberapa orang yang berdiri dibelakang korsi si anak memegang kepala si anak agar muka si anak menghadap ke atas, dan beberapa orang lainnya mengelus dada dan tangan si anak. Sesaat si anak menghadap ke atas orang yang akan menyunat si anak mulai mengelus elus paha si anak lalu membuka cerita agar si anak dapat terlena mendengar cerita tersebut.
Sambil melanjutkan cerita setelah mengelus paha si anak, si tukang sunat mengoleskan kapur sirih pada kulit ujung jakar si anak sebatas satu senti dari ujung jakar si anak. Adapun maksut di oleskannya kapur tersebut, akan dapat berpungsi agar kulit sedikit terasa kebas (Obat bius).
Setelah situasi mengizinkan terlihat mulut tukang sunat komat kamit membaca mantra sesaat itu pula situkang sunat mencabut sembilu yang terselip di kantong bajunya lalu memotongkan ke ujung jakar si anak sebatas olesan kapur sirih yang telah di oleskan, biasanya dengan sekali potong, kulit ujung jakar akan terputus dari ujung jakar.
Setelah kulit ujung jakar terputus, kulit ujung jakar yang tersisa di lempitkan keluar lalu di ikat kain perban. Setelah selesai jakar di perban, kulit ujung jakar yang terpotong diletakkan di atas ujung pucuk pisang lalu di lilit lalu di tanam ketanah bersama habu yang ada dalam Dulang (Talam)
Sedangkan si anak dibopong ke tempat tidur yaitu sebuah tilam basuji yang telah di persiapkan yang terletak biasanya di ruangan tamu rumah. Setelah itu, si anak diselimuti dengan posisi selimut yang sebelah tengah diikat ke atas, agar jakar si anak tidak tersintuh saat bergerak oleh selimutnya.
Pada sore harinya, diadakanlah musyawarah keluarga yang mana dalam musyawah tersebut untuk menentukan siapa yang akan menjaga si anak pada malam hari pertama ini. Karena biasanya anak yang baru di sunat harus di jaga, agar tidak merapatkan kedua pahanya pada saat tidur.
Demikianlah seterusnya sampai pada malam ke dua. Setelah hari ke tiga, si anak yang baru di sunat biasanya digiring kembali ke sungai, untuk dapat merendamkan seluruh tubuhnya ke daslam air, agar perban pembalut bekas sayatan pada jakar si anak yang semula mengeras dapat lembut dan akirnya terlepas dari jakar si anak.
Setelah perban pembalut terlepas, si anak dibawa naik kembali kedarat, agar bekas sayatan dikeringkan. Biasanya untuk mengeringkan dan menghilangkan kulit jakar yang meradang dengan menempelkan batu-batu kecil yang panas oleh terpaan sinar matahari, yang banyak terdapat di pinggir sungai.
Setelah kering, bekas sayatan diolesi dengan cairan hitam yang biasa di sebut minyak Bajo. Minyak ini terbuat dari hasil uapan tempurung kelapa yang dibakar, agar bekas sayatan segera sembuh. Demikianlah seterusnya dilakukan oleh si anak, sampai luka bekas sayatan dapat menyatu kembali.
Perlu kami jelaskan bahwa, tatacara khitanan seperti yang kami jelaskan di atas adalah tatacara khitanan yang dilakukan dahulu oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Cara khitanan ini sungguh sangat tradisional.
Tidak mengherankan bila si anak yang di khitan biasanya sampai satu bulan baru bisa sembuh. Tidak seperti sekarang cara khitanan didukung dengan peralatan yang serba canggih. Adapun orang-orang yang merasakan tatacara khitanan ini, masih dapat kita jumpai diantaranya seperti Bapak Prof. Dr. Azhar Tanjung, ketua HIMSIMAS, yang dahulu tinggal di Pasa Balakkang Kota Sibolga, Bapak Mas'ut si Mamora di Barus, Bapak Ibrahim Pohan yang tinggal disekitar Jalan Aso-aso Sambas Kota Sibolga.
Adat yang diadatkan
MANGALUA (Kawin Lari)
Mangalua adalah asal kata ”Mangapo Kalua” maksudnya mengapa keluar, berarti sebelumnya dilarang keluar. Ada paktor yang menunjukkan arti dari kalimat 'mengapa keluar' yang berarti sebelumnya ada didalam tetapi karena sesuatu hal yang memakksa harus keluar.
Dalam arti yang lebih luas, dapat kita pahami bahwa sesuatu yang ada di dalam sedang menghadapi suatu masalah, yang mungkin tidak mendapatkan solusi, sehingga sesuatu itu harus keluar, walau dengan cara bagaimanapun.
Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian gadis-gadis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada tahun 60han sampai akhir 80han, sehingga memilih jalan kalua atau mangalua untuk melangsungkan pernikahan dengan pria idaman hatinya.
Masalah-masalah yang membuat seorang Gadis harus mangalua untuk melangsungkan pernikahan
Dalam kehidupan keseharian, masyarakat selalu dibayangi oleh beberapa hal seperti uang, kedudukan, status dan asal keturunan, sehingga setiap orang selalu berusaha untuk meraihnya walau dengan cara dan bagaimanapun. Bila beberapa hal tadi menemui kegagalan dalam meraihnya, maka seseorang itu biasanya akan dihinggapi penyakit rasa rendah diri.
Hal ini terjadi pada masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada dekade 60han sampai dekade 80hal. Seperti kita ketahui bahwa, kehidupan sebagian besar masyarakat Pesisir yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, menggantungkan kehidupan dengan mencari ikan di laut dan mengolah tanah pertanian.
Sehingga pada waktu itu kehidupan masyarakat serba paspasan, tidak seperti sekarang ini semua serba berkecukupan. Dalam masa ekonomi yang serba kekurangan, membuat para remaja harus hidup apa adanya.
Banyak para remaja harus rela membantu orang tua turun ke sawah bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pinggir pantai, dan bekerja sebagai nelayan bagi masyarakat yang tinggal di pinggir pantai.
Dari penghasilan yang didapat hanya bisa digunakan untuk biaya kehidupan se hari-hari. Kalau sudah demikian, sudah bisa dipastikan para remaja tidak akan pernah dapat menyisihkan sebagian penghasilannya, yang kelak akan digunakan untuk keperluanlainnya, termasuk untuk biaya pesta bagi para pria yang akan melangsungkan pernikahannya.
Di sisilain, kehidupan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga tidak jauh berbeda dengan kehidupan remaja di daerah lain. Setiap remaja yang telah memasuki usia perkawinan, sudah tentu akan berhasrat untuk menikah demi melanjutkan keturunan.
Sementara untuk melaksanakan hal demikian, bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena harus membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi ukuran isi kantong para remaja yang memasuki usia pernikahan pada waktu itu.
Hal inilah yang biasanya membuat miris hati sebagian orang tua yang memiliki anak memasuki usia pernikahan, apalagi pihak wanita yang menjadi pacar si pria terus mendesak agar segera menikahinya.
Bila si pria tidak mampu memenuhi permiintaan si wanita, maka biasanya timbulah berbagai gosip di tengah-tengah masyarakat. Bila gosip itu bernada miring, alamat si pria akan mendapat malu, bila gosip itu bersifat positif, akan ada orang-orang yang mengusulkan agar si pria melarikan wanita itu ke rumah Tuan Khadi.
Terkadang usulan itu datang dari orang tua si pria itu sendiri, karena merasa tidak mampu membiayainya. Kalau sudah demikian, timbullah niat si pria menempuh jalan pintas dengan membawa si wanita lari kerumah tuan khadi Nikah, agar mereka dapat dengan mudah melangsungkan pernikahannya.
Inilah yang dinamakan ”Mangalua”. Bilamana antara pria dan wanita sepakat untuk mangalua, apa lagi waktunya sudah ditentukan biasanya, beberapa hari lagi akan Mangalua, si wanita tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, memindahkan sebagian pakaiannya ke rumah orang yang tinggal dekat dengan rumah Tuan Khadi.
Pada hari yang telah ditentukan tiba, si wanita keluar dari rumah biasanya pada jam 7 malam, sementara si pria menunggu tidak jauh dari rumah si wanita. Dengan jalan mengendap endap agar tidak ketahuan oleh tetanggga si wanita. Setelah aman dari pantauan masyarakat, barulah mereka bergerak menuju ke rumah Tuan khadi.
Setelah sampai di rumah Tuan khadi, sang pria mengutarakan maksud mereka kepada Khadi nikah. Biasanya Khadi nikah, langsung merespon apa yang dimaksud oleh pasanan tersebut lalu memerintahkan sang Pria agar segera meninggalkan tempat dan pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, berita ini segera meluas ke pelosok kampung. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan biasanya Bapak Tuan khadi pagi itu juga langsung memberitahukan hal ini kepada ke dua orang tua pihak perempan yang di luakan pria tersebut, lalu meminta saran atau pendapat ke dua orang tua perempuan.
Bila kedua orang tua perempuan tidak merasa keberatan maka kedua pasangan ini akan segera dinikahkan dengan terlebih dahulu memberitahukan Kepala Desa sebagai saksi mewakili pemerintahan desa. Setelah akat nikah selesai, barulah segala persyaratan administerasi di urus agar pernikahan syah menurut hukum negara.
Namun tidak semua orang tua si gadis rela diperlakukan dengan cara melarikan anak gadisnya kerumah Khadi, atau yang biasa di sebut mangalua. Kalau sudah demikian, biasanya para tokoh masyarakat atau tokoh adat, akan segera turun tangan untuk menyelesaikan masaalah ini.
Faktor Penyebab Terjadinya Mangalua
Ada beberapa Faktor yang menyebabkan terjadinya mangalua, di kalangan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, yang sekarang ini sudah jarang terjadi. Paktor pertama biasanya adalah masaalah ekonomi bagi keduabelah pihak, seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini.
Kedua adalah paktor kedudukan. Yang dimaksud dengan paktor ini adalah, apabila keluarga perempuan memiliki perekonomian yang serba berkecukupan, yang banyak memiliki harta yang banyak, biasanya tidak akan pernah merestui gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan.
Kalau sudah demikian maka, kedua insan yang berlainan status ekonomi ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Ketiga adalah paktor keturunan. Adapun maksud dari paktor ini adalah, bila si perempuan berasal dari keluarga ternama sejak dari kakeknya, tidak akan pernah merestui anak gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan. Kalau sudah demikian, maka kedua insan yang berlainan status keturunan ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Demikianlah sekilas tradisi dalam adat yang diadatkan pernah terjadi dahulu di tengah-tengah masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Agama Islam adalah salah satu agama resmi di Negara Kesatuan Republik Indonesaia, dan agama yang dipercaya dan dinyakini oleh masyarakat Pesisir, yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Maka sudah bisa dipastikan bahwa, masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga memeluk agama Islam, dimanapun etni ini berada. Seperti diketuhui bahwa, dalam tuntunan agama Islam, diwajipkan melakukan khitan (sunat rasul) bagi seluruh penganudnya. Karena ada sebuah ancaman dosa besar, bila mana seseorang pemeluk agama Islam bila tidak melakukan syariat ini (khitan atau sunat rasul).
Seperti kita ketahui, dalam melaksanakan khitanan ini, ada beberapa ragam dan cara tradisi adat budaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah di Sumatera Utara dan daerah lainnya di negara kesatuan Republik Indonesia ini, baik pada zaman dahulu dan zaman sekarang ini.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga juga memiliki sebuah tradisi adat budaya, dalam melakukan perhelatan khitanan atau sunat rasul oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga. Namun oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tradisi yang dahulu selalu dilakukan oleh masyarakat Pesisir, sudah tidak dilakukan lagi.
Pada hal, bila di runut hikmah yang terdapat pada tradisi tersebut, sangat menentukan watak dari anak yang disunat tersebut. Lebih dari sekedar penentuan watak, tradisi itu sangat mengesankan bagi si anak yang di khitan.
Dalam pelaksanaan khitan (Sunat Rasul) terdapat beberapa tatacara atau tahapan yang harus dilakukan sejak dari awal pelaksanaan sampai selesainya acara. Dalam tahapan yang sebenarnya, hampir tidak ada perbedaannya dengan acara sunatan yang diadakan oleh kebanyakan etnis lainnya. Namun dalam pelaksanaan acara sunatan yang melakukan cara-cara terdahulu, belakangan ini sudah tidak dilakukan lagi.
Menjelang pesta sunatan dilaksanakan
Seminggu sebelum acara sunatan dilaksanakan, kedua orang tua si anak harus mengunjungi para kerabat, tetangga dan handai tolan satu persatu untuk mengundang. Dengan membawa Kampi Sirih (Sumpit kecil yang terbuat dari ayaman pandan berisi daun Sirih selengkapnya.
Setelah masuk kedalam rumah orang yang mau di undang, kedua orang tua si anak memberikan Kampi Sirih kepada tuan rumah. Kemudian sesaat si tuan rumah memakan sirih yang di suguhkan, salah seorang dari orang tua si anak mengulurkan tangan sebagai isarat untuk bersalaman.
Dalam aksi bersalaman itu, barulah orang tua si anak menyampaikan kata-kata mengundang kepada tuan rumah yang di kunjungi: ”Saruponyokko anyo da, kadatangan kami karumah Ogek, uningko mambari tau bahaso hari Rabuko datang la munak karumah kami, karano anak kami nan banamo si anu tu nandak kami sunatkan, jadi samo-samo kito liekla anak kami nanandak kami sunatkan tu”.
Kira-kira inilah kata-kata yang selalu di ucapkan setiap datang kerumah orang yang akan di undang yang artinya : Beginilah, kedatangan kami ke rumah ini untuk memberitahukan abang dan kakak bahwa, hari Rabu ini agar datang ke ruma kami, karena kami akan menyunatkan anak kami yang bernama si Anu, jadi sama-sama kita saksikanlah anak kami yang akan kami sunatkan itu.
Mejelang pelaksanaan pesta
Disini kami jelaskan bahwa, tiga hari sebelum pelaksanaan acara pesta sunatan, kerabat terdekat sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang bertugas mengganti tiang peyangga rumah yang telah lapuk dan atap rumah yang bocor, ada yang sibuk mengerjakan pondok tempat memasak di belakang rumah, ada yang sibuk mengupas kelapa, ada yang sibuk mengumpulkan kayu bakar dan bermacam-macam keperluan lainnya.
Induk Inang (Bidan Pengantin) sibuk dengan memasang perangkat pelaminan. Semakin dekat hari pelaksanaan pesta, semakin banyak tugas yang harus dikerjakan. Bahkan kedua orang tua si anak yang akan disunat harus memporsir tenaga untuk memikirkan jangan ada sesuatu hal yang kurang dalam pelaksanaan pesta tersebut.
Tata Cara Pelaksanaannya
Seperti biasa sejak pagi para pekerja baik perempuan juga laki-laki, sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ada yang sibuk memasak, ada yang sibuk dengan mempersiapkan makanan dan minuman.
Tepat jam sembilan pagi, anak yang akan disunat didudukan di atas kasu basuji yang biasa disebut dalam bahasa Pesisir, sebuah tilam yang telah dihiasi dengan sulaman benang emas sebagai hiasan tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga.
Dengan berpakaian seperti pakaian pengantin pria dalam pakaian adat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, anak yang mau di sunat duduk persis membelakangan pelaminan. Setelah sianak duduk, para kerabat si anak secara bergantian memberikan upa-upa dengan menyuapkan nasi putih seraya mencium kening si anak lalu berucap ”Sehat-sehat awak da, panjang umu murah razaki awak, kok ala gadang awak bantu umak samo ayah da” lalu memberikan uang alakadarnya.
Adapun maksud kata nasehat tadi adalah ”Sehat sehatlah kau nak, panjang umur dan murah rezekimu, kalau sudah dewasa bantu ibu dan ayahmu”. Setelah para kerabat selesai mengupa-upa, barula para undangan menyusul menyalami si anak seraya memberikan sumbangan uang alakadarnya.
Setelah para undangan bersalaman dengan si anak, kemudian dipersilahkan duduk di atas tikar dengan posisi saling berhadapan, lalu dihidangi dengan makan bersama, sebagai penghormatan kepada para tamu yang telah datang memenhi undangan.
Tepat pada jam sebelas menjelang siang, si anak digiring mandi ke sungai terdekat, lalu si anak disuruh berlama-lama berendam dalam air. Biasanya petugas untuk menyunat si anak disebut Modim datang pada jam 14 siang. Sebelum tukang sunat datang, si anak tidak diperbolehkan keluar dari air. Adapun maksud anak ini harus lama berada di dalam air agar kulit jakar si anak tidak keras saat di potong.
Karena pada zaman dahulu alat pemotong kulit jakar biasanya terbuat dari sembilu (Kulit pelepah rumbia atau kulit bambu), tidak seperti sekarang yang memakai peralatan yang serba canggih. Jadi bila si anak lama berendam dalam air maka kulit jakarnya akan terlihat lembut saat di potong.
Sementara si anak lagi sibuk mandi sambil berendam di sungai, atau ditempat lain yang dapat membantu proses melembutkan kulit jakar, beberapa orang kerabat si anak mempersiapkan Dulang (Talam) yang terbuat dari tembaga yang ditaburi dengan habu bekas pembakaran kayu, setelah itu habu tersebut dilengkapi dengan ujung pucuk daun pisang,
Setelah Modim atau orang yang akan menyunat si anak datang, maka si anak dijemput ke sungai tampat si anak berendam, lalu dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, si anak disuruh makan sirih yang telah disediakan, Setelah itu si anak disuruh membuka seluruh pakaiannya lalu di dudukkan di atas korsi dengan posisi mengangkang, sementara Dulang atau talam terletak di bawah antara selangkangan si anak.
Dengan posisi yang demikian beberapa orang yang berdiri dibelakang korsi si anak memegang kepala si anak agar muka si anak menghadap ke atas, dan beberapa orang lainnya mengelus dada dan tangan si anak. Sesaat si anak menghadap ke atas orang yang akan menyunat si anak mulai mengelus elus paha si anak lalu membuka cerita agar si anak dapat terlena mendengar cerita tersebut.
Sambil melanjutkan cerita setelah mengelus paha si anak, si tukang sunat mengoleskan kapur sirih pada kulit ujung jakar si anak sebatas satu senti dari ujung jakar si anak. Adapun maksut di oleskannya kapur tersebut, akan dapat berpungsi agar kulit sedikit terasa kebas (Obat bius).
Setelah situasi mengizinkan terlihat mulut tukang sunat komat kamit membaca mantra sesaat itu pula situkang sunat mencabut sembilu yang terselip di kantong bajunya lalu memotongkan ke ujung jakar si anak sebatas olesan kapur sirih yang telah di oleskan, biasanya dengan sekali potong, kulit ujung jakar akan terputus dari ujung jakar.
Setelah kulit ujung jakar terputus, kulit ujung jakar yang tersisa di lempitkan keluar lalu di ikat kain perban. Setelah selesai jakar di perban, kulit ujung jakar yang terpotong diletakkan di atas ujung pucuk pisang lalu di lilit lalu di tanam ketanah bersama habu yang ada dalam Dulang (Talam)
Sedangkan si anak dibopong ke tempat tidur yaitu sebuah tilam basuji yang telah di persiapkan yang terletak biasanya di ruangan tamu rumah. Setelah itu, si anak diselimuti dengan posisi selimut yang sebelah tengah diikat ke atas, agar jakar si anak tidak tersintuh saat bergerak oleh selimutnya.
Pada sore harinya, diadakanlah musyawarah keluarga yang mana dalam musyawah tersebut untuk menentukan siapa yang akan menjaga si anak pada malam hari pertama ini. Karena biasanya anak yang baru di sunat harus di jaga, agar tidak merapatkan kedua pahanya pada saat tidur.
Demikianlah seterusnya sampai pada malam ke dua. Setelah hari ke tiga, si anak yang baru di sunat biasanya digiring kembali ke sungai, untuk dapat merendamkan seluruh tubuhnya ke daslam air, agar perban pembalut bekas sayatan pada jakar si anak yang semula mengeras dapat lembut dan akirnya terlepas dari jakar si anak.
Setelah perban pembalut terlepas, si anak dibawa naik kembali kedarat, agar bekas sayatan dikeringkan. Biasanya untuk mengeringkan dan menghilangkan kulit jakar yang meradang dengan menempelkan batu-batu kecil yang panas oleh terpaan sinar matahari, yang banyak terdapat di pinggir sungai.
Setelah kering, bekas sayatan diolesi dengan cairan hitam yang biasa di sebut minyak Bajo. Minyak ini terbuat dari hasil uapan tempurung kelapa yang dibakar, agar bekas sayatan segera sembuh. Demikianlah seterusnya dilakukan oleh si anak, sampai luka bekas sayatan dapat menyatu kembali.
Perlu kami jelaskan bahwa, tatacara khitanan seperti yang kami jelaskan di atas adalah tatacara khitanan yang dilakukan dahulu oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Cara khitanan ini sungguh sangat tradisional.
Tidak mengherankan bila si anak yang di khitan biasanya sampai satu bulan baru bisa sembuh. Tidak seperti sekarang cara khitanan didukung dengan peralatan yang serba canggih. Adapun orang-orang yang merasakan tatacara khitanan ini, masih dapat kita jumpai diantaranya seperti Bapak Prof. Dr. Azhar Tanjung, ketua HIMSIMAS, yang dahulu tinggal di Pasa Balakkang Kota Sibolga, Bapak Mas'ut si Mamora di Barus, Bapak Ibrahim Pohan yang tinggal disekitar Jalan Aso-aso Sambas Kota Sibolga.
Adat yang diadatkan
MANGALUA (Kawin Lari)
Mangalua adalah asal kata ”Mangapo Kalua” maksudnya mengapa keluar, berarti sebelumnya dilarang keluar. Ada paktor yang menunjukkan arti dari kalimat 'mengapa keluar' yang berarti sebelumnya ada didalam tetapi karena sesuatu hal yang memakksa harus keluar.
Dalam arti yang lebih luas, dapat kita pahami bahwa sesuatu yang ada di dalam sedang menghadapi suatu masalah, yang mungkin tidak mendapatkan solusi, sehingga sesuatu itu harus keluar, walau dengan cara bagaimanapun.
Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian gadis-gadis Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada tahun 60han sampai akhir 80han, sehingga memilih jalan kalua atau mangalua untuk melangsungkan pernikahan dengan pria idaman hatinya.
Masalah-masalah yang membuat seorang Gadis harus mangalua untuk melangsungkan pernikahan
Dalam kehidupan keseharian, masyarakat selalu dibayangi oleh beberapa hal seperti uang, kedudukan, status dan asal keturunan, sehingga setiap orang selalu berusaha untuk meraihnya walau dengan cara dan bagaimanapun. Bila beberapa hal tadi menemui kegagalan dalam meraihnya, maka seseorang itu biasanya akan dihinggapi penyakit rasa rendah diri.
Hal ini terjadi pada masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga pada dekade 60han sampai dekade 80hal. Seperti kita ketahui bahwa, kehidupan sebagian besar masyarakat Pesisir yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, menggantungkan kehidupan dengan mencari ikan di laut dan mengolah tanah pertanian.
Sehingga pada waktu itu kehidupan masyarakat serba paspasan, tidak seperti sekarang ini semua serba berkecukupan. Dalam masa ekonomi yang serba kekurangan, membuat para remaja harus hidup apa adanya.
Banyak para remaja harus rela membantu orang tua turun ke sawah bagi masyarakat yang tinggal jauh dari pinggir pantai, dan bekerja sebagai nelayan bagi masyarakat yang tinggal di pinggir pantai.
Dari penghasilan yang didapat hanya bisa digunakan untuk biaya kehidupan se hari-hari. Kalau sudah demikian, sudah bisa dipastikan para remaja tidak akan pernah dapat menyisihkan sebagian penghasilannya, yang kelak akan digunakan untuk keperluanlainnya, termasuk untuk biaya pesta bagi para pria yang akan melangsungkan pernikahannya.
Di sisilain, kehidupan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga tidak jauh berbeda dengan kehidupan remaja di daerah lain. Setiap remaja yang telah memasuki usia perkawinan, sudah tentu akan berhasrat untuk menikah demi melanjutkan keturunan.
Sementara untuk melaksanakan hal demikian, bukanlah sesuatu hal yang mudah, karena harus membutuhkan dana yang tidak sedikit bagi ukuran isi kantong para remaja yang memasuki usia pernikahan pada waktu itu.
Hal inilah yang biasanya membuat miris hati sebagian orang tua yang memiliki anak memasuki usia pernikahan, apalagi pihak wanita yang menjadi pacar si pria terus mendesak agar segera menikahinya.
Bila si pria tidak mampu memenuhi permiintaan si wanita, maka biasanya timbulah berbagai gosip di tengah-tengah masyarakat. Bila gosip itu bernada miring, alamat si pria akan mendapat malu, bila gosip itu bersifat positif, akan ada orang-orang yang mengusulkan agar si pria melarikan wanita itu ke rumah Tuan Khadi.
Terkadang usulan itu datang dari orang tua si pria itu sendiri, karena merasa tidak mampu membiayainya. Kalau sudah demikian, timbullah niat si pria menempuh jalan pintas dengan membawa si wanita lari kerumah tuan khadi Nikah, agar mereka dapat dengan mudah melangsungkan pernikahannya.
Inilah yang dinamakan ”Mangalua”. Bilamana antara pria dan wanita sepakat untuk mangalua, apa lagi waktunya sudah ditentukan biasanya, beberapa hari lagi akan Mangalua, si wanita tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, memindahkan sebagian pakaiannya ke rumah orang yang tinggal dekat dengan rumah Tuan Khadi.
Pada hari yang telah ditentukan tiba, si wanita keluar dari rumah biasanya pada jam 7 malam, sementara si pria menunggu tidak jauh dari rumah si wanita. Dengan jalan mengendap endap agar tidak ketahuan oleh tetanggga si wanita. Setelah aman dari pantauan masyarakat, barulah mereka bergerak menuju ke rumah Tuan khadi.
Setelah sampai di rumah Tuan khadi, sang pria mengutarakan maksud mereka kepada Khadi nikah. Biasanya Khadi nikah, langsung merespon apa yang dimaksud oleh pasanan tersebut lalu memerintahkan sang Pria agar segera meninggalkan tempat dan pulang ke rumahnya.
Keesokan harinya, berita ini segera meluas ke pelosok kampung. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan biasanya Bapak Tuan khadi pagi itu juga langsung memberitahukan hal ini kepada ke dua orang tua pihak perempan yang di luakan pria tersebut, lalu meminta saran atau pendapat ke dua orang tua perempuan.
Bila kedua orang tua perempuan tidak merasa keberatan maka kedua pasangan ini akan segera dinikahkan dengan terlebih dahulu memberitahukan Kepala Desa sebagai saksi mewakili pemerintahan desa. Setelah akat nikah selesai, barulah segala persyaratan administerasi di urus agar pernikahan syah menurut hukum negara.
Namun tidak semua orang tua si gadis rela diperlakukan dengan cara melarikan anak gadisnya kerumah Khadi, atau yang biasa di sebut mangalua. Kalau sudah demikian, biasanya para tokoh masyarakat atau tokoh adat, akan segera turun tangan untuk menyelesaikan masaalah ini.
Faktor Penyebab Terjadinya Mangalua
Ada beberapa Faktor yang menyebabkan terjadinya mangalua, di kalangan remaja di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga, yang sekarang ini sudah jarang terjadi. Paktor pertama biasanya adalah masaalah ekonomi bagi keduabelah pihak, seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini.
Kedua adalah paktor kedudukan. Yang dimaksud dengan paktor ini adalah, apabila keluarga perempuan memiliki perekonomian yang serba berkecukupan, yang banyak memiliki harta yang banyak, biasanya tidak akan pernah merestui gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan.
Kalau sudah demikian maka, kedua insan yang berlainan status ekonomi ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Ketiga adalah paktor keturunan. Adapun maksud dari paktor ini adalah, bila si perempuan berasal dari keluarga ternama sejak dari kakeknya, tidak akan pernah merestui anak gadisnya menikah dengan pria yang hidup paspasan. Kalau sudah demikian, maka kedua insan yang berlainan status keturunan ini, akan memilih untuk kawin lari alias mangalua.
Demikianlah sekilas tradisi dalam adat yang diadatkan pernah terjadi dahulu di tengah-tengah masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
( Sumber: Bunga Rampai Pesisir Kota Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu )
No comments:
Post a Comment