TRADISI TURUN KARAI PADA MASYARAKAT PESISIR TAPANULI TENGAH dan KOTA SIBOLGA
Setiap Etnis selalu memiliki tradisi tersendiri dalam mengaktualisasikan setiap kegiatan, baik yang bersifat kekeluargaan atau yang bersifat umum. Tradisi yang ada disetiap etnis sangat beraneka ragam. Ada tradisi turun kesawah, tradisi tolak bala, dan tradisi lainnya.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga, ada sebuah tradisi yang biasa disebut tradisi turun karai. Tradisi ini selalu dilakukan oleh masyarakat yang tinggal disetiap kecamatan yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga, walau dalam pelaksanaannya selalu perbedaan antara satu kecamatan dengan Kecamatan lainnya, namun perbedaan tersebut bukan jadi penghalang dalam melaksakannya.
Tradisi turun karai ini adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga secara berkala dan pada waktu tertentu dalam ruang lingkup kehidupan berkeluarga. Tradisi turun karai tersebut sampai sekarang masih terus dilakukan karena memiliki nilai yang sangat pundamental di tengah tengah kehidupan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga.
Tradisi ini diperkirakan telah ada dan dilakukan sejak abat ke sepuluh masehi sampai sekarang. Tradisiyang sangat kental dengan unsur keagamaan ini, memiliki arti penting dalam membina mentalspirtual, sehingga dalam setiap tahapan pelaksanaannya tidak terlepas dari tuntunan agama Islam.
Bagi kebanyakan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga merasa bangga apabila dapat melakukan acara ini terhadap anaknya yang baru lahir, namun bukan berarti kegiatan ini menggambarkan sitrata tingkat ekonomi masyarakat. Kegiatan ini dapat dilakukan siapa saja karena tidak memerlukan biaya banyak.
Namun entah apa penyebabnya akir akir ini, tradisi kegiatan turun ka rai sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Pesisir yang mendiami Pantai Barat Sumatera Utara. Mesjit Raya Kecamatan Barus, Mesjit Raya Pasar Sorkam, Mesjit Agung kota Sibolga yang mewakili seluruh mesjit yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga menjadi saksi bisu dalam pelasanaan acara ini.
Perlengkapan acara
1- Ayunan yang terbuat dari rotan atau sebangsanya lalu dihiasi
2- Payung kuning.
3- Kain panjang.
4- Air limau untuk mandi.
5- Selendang putih.
6- Kue Itak. (Tepung beras dicampur dengan gula dan minyak pisang lalu dicampur dengan Durian (Kalu ada) lalu diaduk hingga merata, masukkan air sedikit lalu di bulatkan dengan cara mengepalnya. Setelah berbentuk bulatan bekas kepalan lalu dikukus.
7- Beras kunyit dicampur dengan bunga-bungaan yang telah di buka dari kelopaknya.
Cara pelaksanaannya
Setelah bayi berumur empat puluh hari, dan si ibunya uda bersih dari Nipas (Menurut tuntunan agama Islam) lalu di hari pelaksanaannya, biasanya hari yang dipilih hari Jum'at. Pada hari Jum'at pagi sekitar jam tujuh si bayi dan si Ibu sudah keadaan bersih dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar.
Lalu si Bayi di gendong oleh oncunya dan si Ibu memakai kerudung putih dan salah seorang dari rombongan membawa Itak Itak dengan berjalan kaki menuju Mesjid yang terdekat, diiringi para tetangga baik laki laki dan perempuaan yang membawa mukenanya (Telekung) masing masing. Sejak dari turun kebawah atau keluar rumah, si Bayi dipayungi dengan payung kuning beserta ibunya.
Lima puluh meter menjelang sampai ke Mesjid, salah seorang muazzin Mesjid melakukan azan (Bukan Azan untuk Sholat) sebagai sambutan kepada bayi yang baru lahir kedunia ini. Sesampainya di Mesjid, Payung kuning di dirikan di sebelah kanan pintu Mesjid lalu si bayi lalu dimadikan dengan air yang terdapat dalam kulah Mesjid.
Setelah air merata mengenai badan si bayi, lalu kepalanya disiram dengan air limau, seiring dengan itu pula para rombongan mengambil air udluk bagi yang belum berudluk dari rumah. Setelah selesai Azan berkumandang, Bayi yang sudah di bedung dengan kain panjang lalu ditidurkan di tengah Mesjid dengan dijaga oleh salah seorang kerabatnya.
Para rombongan lalu masing masing mendirikan sholat Dhuha. Setelah selesai Sholat Dhuha, rombongan keluar dari dalam Mesjid yang pertama keluar adalah salah seorang yang membawa Itak Itak lalu si Bayi dan Si ibu lalu dipayungi kembali seperti semula, sebelum melangkah sianak didirikan sampai kakinya menyentuh tanah. Setelah itu si anak kembali di gendong lalu berjalandengan diiringi rambongan. Biasanya disepanjang jalan sudah menanti anak anak kecil berdiri di sepanjang jalan menuju rumah si bayi, lalu sambil berjalan, Itak Itak yang dibawa dibagikan satu persatu kepada anak anak tersebut.
Adapun maksud membagikan Itak Itak tersebut adalah untuk menyambangi semangat (Sumangek) si Anak agar tumbung menjadi orang yang baik dan rela menolong sesama. Setelah sampai di rumah, kakek dan nenek sianak dari kedua belah pihak nyambutnya dengan siraman beras kunyit, lalu berkata ”Selamat datang munak ale!.......Salamat datang munak ale!..........Salamat datang munak ale.
Demikialah yang diucapkan oleh sang kakek dan nenek si anak dengan bergantian. Setelah sampai di pintu lalu sianak dimasukkan kedalam ayunan yang telah dihias lalu diayun dengan berpantun seperti pantun di bawah ini :
Ayunkan tajak ayunkan tajak
Tajak sarimbang dari jao
Ayunkan anak ayunkan anak
Anak satimbang samo nyao
Tradisi Manjanguk (Tukam) Bagi Masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga
Kematian adalah sesuatu yang pasti. Dan itu telah menjadi bagian dari kehidupan manusia tanpa kecuali di permukaan bumi ini. Tiada satupun yang hidup kekal dalam kehidupan ini, semua akan masuk kedalam kematian sesuai dengan petunjuk berbagai kitap suci, termasuk kitap suci Al Qur'an selaku kitap suci umat Islam yang kita yakini sampai saat ini.
Setiap kematian yang menimpa warga masyarakat, selalu mendapat perhatian dari warga dimana kematian itu terjadi. Lalu wargapun datang untuk melayat untuk menyampaikan rasa perihatin dan belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.
Dan hal ini lumrah dilakukan disetiap ada warga yang ditimpa kemalangan di daerah manapun berada. Namun tata cara melayat ini selalu sama dan hampir tidak ada perbedaannya dari daerah satu dengan daerah lainnya di nusantara ini. Tidak demikian halnya dahulu di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga.
Di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga dahulu mempunyai tradisi tersendiri dalam melayat bila ada salah seorang warga yang ditimpa kemalangan. Namun tradisi tersebut hampir tidak ada bedanya dari daerah lain. Yang membedakaannya hanya letak kain yang tergantung di bahu para pelayat laki laki.
Bila dilihat dari krakter tradisi ini tidak begitu mempunyai nilai historis secara menyeluruh, tetapi hanya sebagai sebuah simbul penyampaian berita bagi warga setempat. Dari itulah mungkin membuat masyarakat akir akir ini tidak melakukannya lagi.
Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam buku ini agar generasi sekarang dan yang akan datang dapat mengetahui bahwa tradisi ini pernah ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah Sibolga. Ini adalah sebuah tugas pewarisan yang harus disampaikan, mengingat perkembangan budaya luar yang begitu dahsyat menyerang budaya kehidupan generasi muda di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga.
Sudah menjadi tradisi di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga, apabila ada yang ditimpa musibah kematian. Para pelayat laki laki selalu memakai baju teluk belanga, lalu menyandang kain yang sudah dilipat sedemian rupa di atas bahunya.
Dari bentuk dan cara meletakkan kain yang terlipat inilah masyarakat umum dapat mengetahui jenis kelamin, orang tua atau anak anak yang meninggal dunia tersebut.Cara ini dahulunya menjadi sebuah tradisi di setiap desa di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga.
Inilah sebuah tradisi yang unik dan tidak dimiliki oleh etnis lain. Tradisi ini sudah berlaku turun temurun di kalangan masyarakat Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga. Namun belakangan ini tradisi tersebut sudah tidak dilakukan lagi, bahkan generasi sekarang tidak mengetahui tradisi ini pernah ada di daerahnya.
Bila yang meninggal dunia adalah laki laki dewasa yang telah berkeluarga, maka letak kain yang dilipat biasanya di atas bahu sebelah kanan, lalu ujung kain yang mengarah kebelakang.
Bila yang meninggal laki laki dewasa yang belum berumahtangga, maka letak kainnya tetap di atas bahu kaman tetapi ujung kain arah ke depan.
Bila yang meninggal dunia laki laki yang baru lahir atau yang masih dibawah umur maka kain digantungkan di tangan sebelah kanan, ujungnya mengarah ke belakang.
Bila yang meninggal dunia perempuan dewasa yang sudah berumah tangga, maka letak kainnya biasanya di atas bahu kiri, ujung kain mengarah kebelakang.
Bila yang meninggal perempuan yang belum berumahtangga ujung kain mengarah ke depan.
Bila perempuan yang meninggal perempuan yang baru lahir atau masih di bawah umur, maka letak kain digantungkan di tangan sebelah kiri ujung kain mengarah ke depan.
Cara melipat kain
Pertama kain sarung dibentangkan, lalu dilipat dua dengan mempertemukan ujung dan pangkal kain. Setelah itu kain dilipat lagi dengan mempertemukan kedua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain, lalu dilipat lagi dengan mempertemukan ke dua sisi kain. (Lihat gambar)
Ciri Khas Warung Nasi Masyarakat Pesisir Yang Sudah Tidak Dijumpai Lagi di Daerah Pesisir dan Kota Sibolga.
Seperti yang penulis ungkapkan pergeseran dalam budaya Tikar putih untuk tamu agung, berimbar juga pada tata cara yang selama ini dalam budaya berjualan nasi ala Pesisir. Kebiasaan dalam tata cara budaya berdagang nasi pada Etnis Pesisir yang dahulu sekarang ini sudah tidak dijumpai lagi, kalaupun masih ada hanya terdapat di sebuah warung nasi di daerah Pagadungan.
Sebagai orang yang berasal dari Etnis Pesisir yang pernah tinggal di daerah Tapanuli Tengah apa bila kita membayangkan, setidaknya mengingat dahulu pada saat kita makan diwarung nasi yang ada di Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga. Seiring dengan itu pula, dipastikan kita akan dapat membayangkan betapa hitamnya sebuah belanga yang sengaja diletakkan diatas sakka (wadah yang terbuat dari kuli kelapa) dalam Stailing dengan sebuah sendok yang terbuat dari batok kelapa, bagai mana hitamnya sebuah periuk dengan dialasi buhulan kain bekas.
Kita akan dapat pula membayangkan bagai mana tata cara dan situasi warung nasi yang ada di daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga dengan segala lezatnya gulai ikan Yu, gulai ikan Gabu, gulai ikan Aso – aso atau Gambolo. Tidak sampai disitu, kita masih dapat merasakan betapa cerianya gelak tawa para nelayan yang duduk menikmati segela kopi tubruk.
Namun hal seperti diatas, tidak akan kita jumpai lagi sekarang ini, padahal kalaulah kebiasaan yang sudah mentradisi ini tetap dipertahankan, sudah barang tentu akan menjadi sebuah ciri khas tersendiri bagi daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga yang tidak dimiliki daerah lain di Sumatera Utara, akhirnya akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Pesisir.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di daerah, penulis berkesimpulan bahwa banyaknya masyarakat yang kurang menyadarinya sehingga beralasan demi sebuah kebersihan. Mereka menganggap cara lama dengan meletakkan sebuah belangan diatas steling akan mengurangi kebersiahan dan keindahan. Mereka tidak menyadiri bahwa dengan cara ini akan membangkitkan selera orang luar yang ingin menikmati menu makan yang tersedia.
Pada hal, dengan mempertahankan cara – cara lama ditambah memadukan nya dengan dengan cara lainnya akan menghasilkan nilai tambah bagi masyarakt itu sendiri. Lebih jauh hasil yang akan dicapai dengan keragaman ini, Pemerintahan Kabupaten tinggal membuat perencanaan dalam meng akomodasi sebuah kegiatan dalam memasarkan daerah wisata yang ada, serta memadukannya dengan kegiatan budaya – budaya lainnya.
Dalam kegiatan sebuah pesta pantai misalnya, betapa indahnya sebuah kegiatan apa bila pihak panitia dapat menyuguhkan santapan yang masih bersifat tradisi seperti makan di warung yang masih memakai cara cara lama, kepada para tamu atau wisata yang datang menyaksikan kegiatan tersebut.
Kita melihat penomena sekarang ini, bahwa manusia sudah menemui titik kejenuhan apa bila mendapatkan sesuatu yang biasa didapatkannya. Tidak mengherankan apa bila kita merujuk pada tatanan kehidupan di manca negara. Gebyarnya kehidupan yang serba moderen, glamornya sebuah kebebasan, namun tidak membuat orang – orang eropa merasa puas.
Orang – orang Eropa sengaja mengeluarkan uang banyak untuk datang kesatu daerah yang sangat asing bagi mereka. Mengapa pulau Bali menjelma menjadi sebuah daerah tujuan wisata bagi warga negara asing. Kalau kita jujur, keindahan alam Pulau Dewata ini tidak lebih indah dari alam Pesisir yang kita cintai ini.
Tapi secara jujur kita akui, Etnis Bali adalah Etnis yang tetap mempertahankan semua tradisi yang turun temurun dari leluhurnya, mereka tidak serta merta meninggalkan tradisinya walau wisatawan yang datang silih berganti. Kita bandingkan dengan daerah Pesisir Tapanuli Tengah dan kota Sibolga yang juga salah satu daerah tujuan wisata di Sumatera Utara.
Perlu dijelaskan bahwa, manajemen yang akuntabel akan tidak berarti apa – apa, bila sipembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintahan Kabupaten dan Kota tidak secara maksimal memberikan penerangan kepada masyarakat. Dari itu tidak ada kata terlambat. Memulai itu lebih baik dari tidak sama sekali. Kita berharap kepada pihak pemegang kebijakan sebaiknya mencoba memberikan penerangan kepada masyarakat akan perlunya mempertahankan tradisi lama bahkan kalau bisa tetap melestarikannya agar tidak punah tanpa bekas.
Tetapi mempertahankan dan melestarikan bukan berarti tidak mengesampingkan teknologi yang ada sekarang. Kita bisa ikut perkembangan jaman, tetapi janganlah hendaknya kemajuan tersebut membuat kita tercabut dari akar kebudayaan lama yang mempunyai nilai luhur yang mentradisi salama ini.
(Sumber: Bunga Rampai Pesisir Kota Sibolga Oleh Sjawal Pasaribu )
No comments:
Post a Comment